Page

Info seputar dunia bisnis, pendidikan dan infotainment

Kisah Nabi Ibrahim AS lengkap

Nabi Ibrahim adalah putera Aaazar {Tarih} bin Tahur bin Saruj bin Rau’ bin Falij bin Aaabir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh a.s. Ia dilahirkan di sebuah tempat bernama “Faddam A’ram” dalam kerajaan “Babylon” yang pada waktu itu diperintah oleh seorang raja bernama “Namrud bin Kan’aan.”

Kerajaan Babylon pada masa itu termasuk kerajaan yang makmur rakyat hidup senang, sejahtera dalam keadaan serba cukup sandang mahupun pandangan serta saranan-saranan yang menjadi keperluan pertumbuhan jasmani mereka. Akan tetapi tingkatan hidup rohani mereka masih berada di tingkat jahiliah. Mereka tidak mengenal Tuhan Pencipta mereka yang telah mengurniakan mereka dengan segala kenikmatan dan kebahagiaan duniawi. Persembahan mereka adalah patung-patung yang mereka pahat sendiri dari batu-batu atau terbuat dari lumpur dan tanah.

Raja mereka Namrud bin Kan’aan menjalankan tampuk pemerintahnya dengan tangan besi dan kekuasaan mutlak. Semua kehendaknya harus terlaksana dan segala perintahnya merupakan undang-undang yang tidak dapat dilanggar atau di tawar. Kekuasaan yang besar yang berada di tangannya itu dan kemewahan hidup yang berlebih-lebihan yang ia nikmati lama-kelamaan menjadikan ia tidak puas dengan kedudukannya sebagai raja. Ia merasakan dirinya patut disembah oleh rakyatnya sebagai tuhan. Ia berfikir jika rakyatnya mahu dan rela menyembah patung-patung yang terbina dari batu yang tidak dapat memberi manfaat dan mendatangkan kebahagiaan bagi mereka, mengapa bukan dialah yang disembah sebagai tuhan. Dia yang dapat berbicara, dapat mendengar, dapat berfikir, dapat memimpin mereka, membawa kemakmuran bagi mereka dan melepaskan dari kesengsaraan dan kesusahan. Dia yang dapat mengubah orang miskin menjadi kaya dan orang yang hina-dina diangkatnya menjadi orang mulia. di samping itu semuanya, ia adalah raja yang berkuasa dan memiliki negara yang besar dan luas.

Di tengah-tengah masyarakat yang sedemikian buruknya lahir dan dibesarkanlah Nabi Ibrahim dari seorang ayah yang bekerja sebagai pemahat dan pedagang patung. Ia sebagai calon Rasul dan pesuruh Allah yang akan membawa pelita kebenaran kepada kaumnya,jauh-jauh telah diilhami akal sihat dan fikiran tajam serta kesedaran bahawa apa yang telah diperbuat oleh kaumnya termasuk ayahnya sendiri adalah perbuat yang sesat yang menandakan kebodohan dan kecetekan fikiran dan bahawa persembahan kaumnya kepada patung-patung itu adalah perbuatan mungkar yang harus di banteras dan diperangi agar mereka kembali kepada persembahan yang benar ialah persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan pencipta alam semesta ini.

Semasa remajanya Nabi Ibrahim sering disuruh ayahnya keliling kota menjajakan patung-patung buatannya namun karena iman dan tauhid yang telah diilhamkan oleh Tuhan kepadanya ia tidak bersemangat untuk menjajakan barang-barang itu bahkan secara mengejek ia menawarkan patung-patung ayahnya kepada calon pembeli dengan kata-kata:” Siapakah yang akan membeli patung-patung yang tidak berguna ini? “

Nabi Ibrahim as mendapatkan tempat khusus di sisi Allah SWT. Ibrahim termasuk salah satu nabi ulul azmi di antara lima nabi di mana Allah SWT mengambil dari mereka satu perjanjian yang berat. Kelima nabi itu adalah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad saw – sesuai dengan urutan diutusnya mereka. Ibrahim adalah seorang nabi yang diuji oleh Allah SWT dengan ujian yang jelas. Yaitu ujian di atas kemampuan manusia biasa. Meskipun menghadapi ujian dan tantangan yang berat, Nabi Ibrahim tetap menunjukkan sebagai seorang hamba yang menepati janjinya dan selalu menunjukkan sikap terpuji. Allah SWT berfirman:

“Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji. ” (QS. an-Najm: 37)

Allah SWT menghormati Ibrahim dengan penghormatan yang khusus. Allah SWT menjadikan agamanya sebagai agama tauhid yang murni dan suci dari berbagai kotoran, dan Dia menjadikan akal sebagai alat penting dalam menilai kebenaran bagi orang-orang yang mengikuti agama-Nya. Allah SWT berfirman:

“Dan tidak ada yang benar kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya Dia di akhirat benar-benar termasuk orang yang soleh.” (QS. al-Baqarah: 130)

Allah SWT memuji Ibrahim dalam flrman-Nya:

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan). ” (QS. an- Nahl: 120)

Termasuk keutamaan Allah SWT yang diberikan-Nya kepada Ibrahim adalah, Dia menjadikannya sebagai imam bagi manusia dan menganugerahkan pada keturunannya kenabian dan penerimaan kitab (wahyu). Oleh kerana itu, kita dapati bahawa setiap nabi setelah Nabi Ibrahim as adalah anak-anak dan cucu-cucunya. Ini semua merupakan bukti janji Allah SWT kepadanya, di mana Dia tidak mengutus seorang nabi kecuali datang dari keturunannya. Demikian juga kedatangan nabi yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw, adalah sebagai wujud dari terkabulnya doa Nabi Ibrahim yang diucapkannya kepada Allah SWT di mana ia meminta agar diutus di tengah-tengah kaum yang umi seorang rasul dari mereka. Ketika kita membahas keutamaan Nabi Ibrahim dan penghormatan yang Allah SWT berikan kepadanya, nescaya kita akan mendapatkan hal-hal yang menakjubkan.

Kita di hadapan seorang manusia dengan hati yang suci. Manusia yang ketika diperintahkan untuk menyerahkan diri ia pun segera berkata, bahawa aku telah menyerahkan diriku kepada Pengatur alam semesta. Ia adalah seorang Nabi yang pertama kali menamakan kita sebagai al- Muslimin (orang-orang yang menyerahkan diri). Seorang Nabi yang doanya terkabul dengan diutusnya Muhammad bin Abdullah saw. la adalah seorang Nabi yang merupakan datuk dan ayah dari pada nabi yang datang setelahnya. Ia seorang Nabi yang lembut yang penuh cinta kasih kepada manusia dan selalu kembali kepada jalan kebenaran. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.” (QS. Hud: 75)

“(Yaitu): Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” (QS. as-Shaffat: 109)

Demikianlah Allah SWT sebagai Pencipta memperkenalkan hamba-Nya Ibrahim. Tidak kita temukan dalam kitab Allah SWT penyebutan seorang nabi yang Allah SWT angkat sebagai kekasih-Nya kecuali Ibrahim. Hanya ia yang Allah SWT khususkan dengan firman-Nya:

“Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (QS. an- Nisa': 125)

Para ulama berkata bahawa al-Hullah adalah rasa cinta yang sangat. Demikianlah pengertian dari ayat tersebut. Allah SWT mengangkat Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Ini merupakan suatu kedudukan yang mulia dan sangat tinggi. Di hadapan kedudukan yang tinggi ini, Ibrahim duduk dan merenung: aku telah memperoleh dan apa yang aku peroleh. Hati apakah yang ada di dalam diri Nabi Ibrahim, rahmat apa yang diciptakan, dan kemuliaan apa yang dibentuk, dan cinta apa yang diberikan. Sesungguhnya puncak harapan para pejalan rohani dan tujuan akhir para sufi adalah “merebut” cinta Allah SWT. Bukankah setiap orang membayangkan dan mengangan-angankan untuk mendapatkan cinta dari Allah SWT? Demikianlah harapan setiap manusia.

Nabi Ibrahim adalah seorang harnba Allah SWT yang berhak diangkat-Nya menjadi al-Khalil (kekasih Allah SWT). Itu adalah darjat dari darjat- darjat kenabian yang kita tidak mengetahui nilainya. Kita juga tidak mengetahui bagaimana kita menyifatinya. Berapa banyak pernyataan- pernyataan manusia berkaitan dengan hal tersebut, namun rasa-rasanya ia laksana penjara yang justru menggelapkannya. Kita di hadapan kurnia Ilahi yang besar yang terpancar dari cahaya langit dan bumi. Adalah hal yang sangat mengagumkan bahawa setiap kali Nabi Ibrahim mendapatkan ujian dan kepedihan, beliau justru menciptakan permata. Adalah hal yang sangat menghairankan bahawa hati yang suci ini justru menjadi matang sejak usia dini.

Al-Quran al-Karim tidak menceritakan tentang proses kelahirannya dan masa kecilnya. Kita mengetahui bahawa di masa Nabi Ibrahim manusia terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama menyembah patung- patung yang terbuat dari kayu dan batu. Kelompok kedua menyembah bintang dan bulan dan kelompok ketiga menyembah raja-raja atau penguasa. Cahaya akal saat itu padam sehingga kegelapan memenuhi segala penjuru bumi. Akhirnya, kehausan bumi untuk mendapatkan rahmat dan kelaparannya terhadap kebenaran pun semakin meningkat. Dalam suasana yang demikianlah Nabi Ibrahim dilahirkan. Ia dilahirkan dari keluarga yang mempunyai keahlian membuat patung atau berhala. Disebutkan bahawa ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan kemudian ia diasuh oleh pamannya di mana pamannya itu menduduki kedudukan ayahnya. Nabi Ibrahim pun memanggil dengan sebutan-sebutan yang biasa ditujukan kepada seorang ayah. Ada juga ada yang mengatakan bahawa ayahnya tidak meninggal dan Azar adalah benar-benar ayahnya. Ada pendapat lain yang mengatakan bahawa Azar adalah nama salah satu patung yang cukup terkenal yang dibuat oleh ayahnya. Alhasil, Ibrahim berasal dari keluarga semacam ini.

Kepala keluarga Ibrahim adalah salah seorang seniman yang terbiasa memahat patung-patung sehingga profesion si ayah mendapatkan kedudukan istimewa di tengah-tengah kaumnya. Keluarga Nabi Ibrahim sangat dihormati. Dalam bahasa kita saat ini bisa saja ia disebut dengan keluarga aristokrat. Dari keluarga semacam ini lahir seorang anak yang mampu menentang penyimpangan dari keluarganya sendiri, dan menentang sistem masyarakat yang rosak serta melawan berbagai macam ramalan para dukun, dan menentang penyembahan berhala dan bintang, serta segala bentuk kesyirikan. Akhirnya, beliau mendapatkan ujian berat saat beliau dimasukkan ke dalam api dalam keadaan hidup- hidup. Kita tidak ingin mendahului peristiwa tersebut. Kami ingin memulai kisah Nabi Ibrahim sejak masa kecilnya. Nabi Ibrahim adalah seseorang yang akalnya cemerlang sejak beliau berusia muda. Allah SWT menghidupkan hatinya dan akalnya dan memberinya hikmah sejak masa kecilnya.

Nabi Ibrahim mengetahui saat beliau masih kecil bahawa ayahnya seseorang yang membuat patung-patung yang unik.[1] Pada suatu hari, ia bertanya terhadap ciptaan ayahnya kemudian ayahnya memberitahunya bahawa itu adalah patung-patung dari tuhan-tuhan. Nabi Ibrahim sangat kehairanan melihat hal tersebut, kemudian timbul dalam dirinya – melalui akal sehatnya – penolakan terhadapnya. Uniknya, Nabi Ibrahim justru bermain-main dengan patung itu saat ia masih kecil, bahkan terkadang ia menunggangi punggung patung-patung itu seperti orang- orang yang biasa menunggang keldai dan binatang tunggangan lainnya. Pada suatu hari, ayahnya melihatnya saat menunggang punggung patung yang bernama Mardukh. Saat itu juga ayahnya marah dan memerintahkan anaknya agar tidak bermain-main dengan patung itu lagi.

Ibrahim bertanya: “Patung apakah ini wahai ayahku? Kedua telinganya besar, lebih besar dari telinga kita.” Ayahnya menjawab: “Itu adalah Mardukh, tuhan para tuhan wahai anakku, dan kedua telinga yang besar itu sebagai simbol dari kecerdasan yang luar biasa.” Ibrahim tampak tertawa dalam dirinya padahal saat itu beliau baru menginjak usia tujuh tahun.

Injil Barnabas melalui lisan Nabi Isa menceritakan kepada kita, bahawa Nabi Ibrahim mengejek ayahnya saat beliau masih kecil. Suatu hari, Ibrahim bertanya kepada ayahnya: “Siapa yang menciptakan manusia wahai ayahku?” Si ayah menjawab: “Manusia, kerana akulah yang membuatmu dan ayahku yang membuat aku.” Ibrahim justru menjawab: “Tidak demikian wahai ayahku, kerana aku pernah mendengar seseorang yang sudah tua yang berkata: “Wahai Tuhanku mengapa Engkau tidak memberi aku anak.”

Si ayah berkata: “Benar wahai anakku, Allah yang membantu manusia untuk membuat manusia namun Dia tidak meletakkan tangan-Nya di dalamnya. Oleh kerana itu, manusia harus menunjukkan kerendahan di hadapan Tuhannya dan memberikan korban untuk-Nya.” Kemudian Ibrahim bertanya lagi: “Berapa banyak tuhan-tuhan itu wahai ayahku?” Si ayah menjawab: “Tidak ada jumlahnya wahai anakku.” Ibrahim berkata: “Apa yang aku lakukan wahai ayahku jika aku mengabdi pada satu tuhan lalu tuhan yang lain membenciku kerana aku tidak mengabdi pada-Nya? Bagaimana terjadi persaingan dan pertentangan di antara tuhan? Bagaimana seandainya tuhan yang membenciku itu membunuh tuhanku? Boleh jadi ia membunuhku juga.”

Si ayah menjawab dengan tertawa: “Kamu tidak perlu takut wahai anakku, kerana tidak ada permusuhan di antara sesama tuhan. Di dalam tempat penyembahan yang besar terdapat ribuan tuhan dan sampai sekarang telah berlangsung tujuh puluh tahun. Meskipun demikian, belum pernah kita mendengar satu tuhan memukul tuhan yang lain.” Ibrahim berkata: “Kalau begitu terdapat suasana harmonis dan kedamaian di antara mereka.”Si ayah menjawab: “Benar.”

Ibrahim bertanya lagi: “Dari apa tuhan-tuhan itu diciptakan? Orang tua itu menjawab: “Ini dari kayu-kayu pelepah kurma, itu dari zaitun, dan berhala kecil itu dari gading. Lihatlah alangkah indahnya. Hanya saja, ia tidak memiliki nafas.” Ibrahim berkata: “Jika para tuhan tidak memiliki nafas, maka bagaimana mereka dapat memberikan nafas? Bila mereka tidak memiliki kehidupan bagaimana mereka memberikan kehidupan? Wahai ayahku, pasti mereka bukan Allah.” Mendengar ucapan Ibrahim itu, sang ayah menjadi berang dan marah sambil berkata: “Seandainya engkau sudah dewasa nescaya aku pukul dengan kapak ini.”

Ibrahim berkata: “Wahai ayahku, jika para tuhan membantu dalam penciptaan manusia, maka bagaimana mungkin manusia menciptakan tuhan? Jika para tuhan diciptakan dari kayu, maka membakar kayu merupakan kesalahan besar, tetapi katakanlah wahai ayahku, bagaimana engkau menciptakan tuhan-tuhan dan membuat baginya tuhan yang cukup baik, namun bagaimana tuhan-tuhan membantumu untuk membuat anak-anak yang cukup banyak sehingga engkau menjadi orang yang paling kuat di dunia?”

Selesailah dialog antara Ibrahim dan ayahnya dengan terjadinya pemukulan oleh si ayah terhadap Ibrahim. Kemudian berlalulah hari demi hari dan Ibrahim menjadi besar. Sejak usia anak-anak, hati Ibrahim menanam rasa benci terhadap patung-patung yang dibuat oleh ayahnya sendiri. Ibrahim tidak habis mengerti, bagaimana manusia yang berakal membuat patung-patung dengan tangannya sendiri kemudian setelah itu ia sujud dan menyembah terhadap apa yang dibuatnya.

Ibrahim memperhatikan bahawa patung-patung tersebut tidak makan dan minum dan tidak mampu berbicara, bahkan seandainya ada seseorang yang membaliknya ia tidak mampu bangkit dan berdiri sebagaimana asalnya. Bagaimana manusia membayangkan bahawa patung-patung tersebut dapat mendatangkan bahaya dan memberikan manfaat? Pemikiran ini banyak merisaukan Ibrahim dalam tempo yang lama. Apakah mungkin semua kaumnya bersalah sementara hanya ia yang benar? Bukankah yang demikian ini sangat menghairankan?

Kaum Nabi Ibrahim mempunyai tempat penyembahan yang besar yang dipenuhi berbagai macam berhala. Di tengah-tengah tempat penyembahan itu terdapat mihrab yang diletakkan di dalamnya patung- patung yang paling besar. Ibrahim mengunjungi tempat itu bersama ayahnya saat ia masih kecil. Ibrahim memandang berhala-berhala yang terbuat dari batu-batuan dan kayu itu dengan pandangan yang menghinakan. Hal ini sangat menghairankan masyarakat pada saat itu kerana saat memasuki tempat penyembahan itu, mereka menampakkan ketundukan dan kehormatan di hadapan patung-patung. Bahkan mereka menangis dan memohon berbagai macam hal. Seakan-akan patung- patung itu mendengar apa yang mereka keluhkan dan bicarakan.

Mula-mula pemandangan tersebut membuat Ibrahim tertawa kemudian lama-lama Ibrahim marah. Hal yang menghairankan baginya bahawa manusia-manusia itu semuanya tertipu, dan yang semakin mempersulit masalah adalah, ayah Ibrahim ingin agar Ibrahim menjadi dukun saat ia besar. Ayah Ibrahim tidak menginginkan apa-apa kecuali agar Ibrahim memberikan penghormatan kepada patung-patung itu, namun ia selalu mendapati Ibrahim menentang dan meremehkan patung-patung itu.

Pada suatu hari Ibrahim bersama ayahnya masuk di tempat penyembahan itu. Saat itu terjadi suatu pesta dan perayaan di hadapan patung-patung, dan di tengah-tengah perayaan tersebut terdapat seorang tokoh dukun yang memberikan pengarahan tentang kehebatan tuhan berhala yang paling besar. Dengan suara yang penuh penghayatan, dukun itu memohon kepada patung agar menyayangi kaumnya dan memberi mereka rezeki. Tiba-tiba keheningan saat itu di pecah oleh suara Ibrahim yang ditujukan kepada tokoh dukun itu: “Hai tukang dukun, ia tidak akan pernah mendengarmu. Apakah engkau meyakini bahawa ia mendengar?” Saat itu manusia mulai kaget. Mereka mencari dari mana asal suara itu. Ternyata mereka mendapati bahawa suara itu suara Ibrahim. Lalu tokoh dukun itu mulai menampakkan kerisauan dan kemarahannya. Tiba-tiba si ayah berusaha menenangkan keadaan dan mengatakan bahawa anaknya sakit dan tidak mengetahui apa yang dikatakan.

Lalu keduanya keluar dari tempat penyembahan itu. Si ayah menemani Ibrahim menuju tempat tidurnya dan berusaha menidurkannya dan meninggalkannya setelah itu. Namun, Ibrahim tidak begitu saja mahu tidur ketika beliau melihat kesesatan yang menimpa manusia. Beliau pun segera bangkit dari tempat tidurnya. Beliau bukan seorang yang sakit. Beliau merasa dihadapkan pada peristiwa yang besar. Beliau menganggap mustahil bahawa patung-patung yang terbuat dari kayu-kayu dan batu- batuan itu menjadi tuhan bagi kaumnya. Ibrahim keluar dari rumahnya menuju ke gunung. Beliau berjalan sendirian di tengah kegelapan. Beliau memilih salah satu gua di gunung, lalu beliau rnenyandarkan punggungnya dalam keadaan duduk termenung. Beliau memperhatikan langit. Beliau mulai bosan memandang bumi yang dipenuhi dengan suasana jahiliah yang bersandarkan kepada berhala.

Tidak lama setelah Nabi Ibrahim memperhatikan langit kemudian beliau melihat-lihat berbagai bintang yang disembah di bumi. Saat itu hati Nabi Ibrahim – sebagai pemuda yang masih belia –  merasakan kesedihan yang luar biasa. Lalu beliau melihat apa yang di belakang bulan dan bintang. Hal itu sangat mengagumkannya. Mengapa manusia justru menyembah ciptaan Tuhan? Bukankah semua itu muncul dan tenggelam dengan izin- Nya. Nabi Ibrahim mengalami dialog internal dalam dirinya. Allah SWT menceritakan keadaan ini dalam surah al-An’am:

“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Azar: ‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.’ Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda- tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan Kami (memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: ‘Inilah Tuhanku,’ tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata: ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam.'” (QS. al-An’am: 74-76)

Al-Quran tidak menceritakan kepada kita peristiwa atau suasana yang dialami Ibrahim saat menyatakan sikapnya dalam hal itu, tapi kita merasa dari konteks ayat tersebut bahawa pengumuman ini terjadi di antara kaumnya. Dan tampak bahawa kaumnya merasa puas dengan hal tersebut. Mereka mengira bahawa Ibrahim menolak penyembahan berhala dan cenderung pada penyembahan bintang. Kita ketahui bahawa di zaman Nabi Ibrahim manusia menjadi tiga bahagian. Sebahagian mereka menyembah berhala sebahagian lagi menyembah bintang, dan sebahagian yang lain menyembah para raja. Namun di saat pagi, Nabi Ibrahim mengingatkan kaumnya dan membikin mereka terkejut di mana bintang-bintang yang diyakininya kelmarin kini telah tenggelam. Ibrahim mengatakan bahawa ia tidak menyukai yang tenggelam. Allah SWT berfirman:

“Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:
‘Inilah Tuhanku.'” (QS. al-An’am: 76)

Ibrahim kembali merenung dan memberitahukan kaumnya pada malam kedua bahawa bulan adalah tuhannnya. Kaum Nabi Ibrahim tidak mengetahui atau tidak memiliki kapasiti logik yang cukup atau kecerdasan yang cukup, bahawa sebenarnya Ibrahim ingin menyedarkan dengan cara sangat lembut dan penuh cinta. Bagaimana mereka menyembah tuhan yang terkadang tersembunyi dan terkadang muncul atau terkadang terbit dan terkadang tenggelam. Mula-mula kaum Nabi Ibrahim tidak mengetahui yang demikian itu. Pertama-tama Ibrahim menyanjung bulan tetapi ternyata bulan seperti bintang yang lain, ia pun muncul dan tenggelam: Allah SWT berfirman:

“Kemudian tatkala dia melihat sebuah bulan terbit dia berkata: ‘Inilah Tuhanku.’ Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: ‘Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.'” (QS. al-An’am: 77)

Kita perhatikan di sini bahawa beliau berbicara dengan kaumnya tentang penolakan penyembahan terhadap bulan. Ibrahim berhasil “merobek” keyakinan terhadap penyembahan bulan dengan penuh kelembutan dan ketenangan. Bagaimana manusia menyembah tuhan yang terkadang tersembunyi dan terkadang muncul. Sungguh, kata Ibrahim, betapa aku membayangkan apa yang terjadi padaku jika Tuhan tidak membimbingku. Nabi Ibrahim mengisyaratkan kepada mereka bahawa beliau memiliki Tuhan, bukan seperti tuhan-tuhan yang mereka sembah. Namun lagi-lagi mereka belum mampu menangkap isyarat Nabi Ibrahim. Beliau pun kembali menggunakan argumentasi untuk menundukkan kelompok pertama dari kaumnya, yaitu penyembah bintang. Allah SWT berfirman:

“Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: ‘Inilah Tuhanku. Inilah yang lebih besar.’ Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.'” (QS. al-An’am: 78-79)

Ibrahim berdialog dengan penyembah matahari. Beliau memberitahukan bahawa matahari adalah tuhannya kerana dia yang terbesar. Lagi-lagi Ibrahim memainkan peran yang penting dalam rangka menggugah fikiran mereka. Para penyembah matahari tidak mengetahui bahawa mereka menyembah makhluk. Jika mereka mengira bahawa ia adalah besar, maka Allah SWT Maha Besar.

Setelah Ibrahim memberitahukan bahawa matahari adalah tuhannya, beliau menunggu saat yang tepat sehingga matahari itu tenggelam dan ternyata benar dia bagaikan sembahan-sembahan yang lain yang suatu saat akan tenggelam. Setelah itu Ibrahim memploklamirkan bahawa beliau terbebas dari penyembahan bintang.

Ibrahim mulai memandang dan memberikan pengarahan kepada kaumnya bahawa di sana ada Pencipta langit dan bumi. Argumentasi Ibrahim mampu memunculkan kebenaran, tetapi sebagaimana biasa kebatilan tidak tunduk begitu saja. Mereka mulai menampakkan taringnya dan mulai menggugat keberadaan dan kenekatan Ibrahim as. Mereka mulai menentang Nabi Ibrahim dan mulai mendebatnya dan bahkan mengancamnya. Allah SWT berfirman:

“Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: “Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku. Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali jika Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) ? Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah) padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui)?'” (QS. al-An’am: 80-81)

Kita tidak mengetahui sampai sejauh mana ketajaman pergelutan antara Nabi Ibrahim dan kaumnya, dan bagaimana cara mereka menakut-nakuti Nabi Ibrahim. Al-Quran tidak menyinggung hal tersebut. Namun yang jelas, tempat mereka yang penuh kebatilan itu mampu dilumpuhkan oleh Al-Quran. Dari cerita tersebut, Al-Quran mengemukakan Nabi bahawa Ibrahim menggunakan logik seorang yang berfikir sehat. Menghadapi berbagai tantangan dan ancaman dari kaumnya, Nabi Ibrahim justru mendapatkan kedamaian dan tidak takut kepada mereka. Allah SWT berfirman:

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukan iman mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. ” (QS. al-An’am: 82)

Allah SWT selalu memberikan hujah atau argumentasi yang kuat kepada Nabi Ibrahim sehingga beliau mampu menghadapi kaumnya. Allah SWT berfirman:

“Dan itulah hujah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa darjat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. ” (QS. al-An’am: 83)

Ibrahim didukung oleh Allah SWT dan diperlihatkan kerajaan langit dan bumi. Demikianlah Nabi Ibrahim terus melanjutkan penentangan pada penyembahan berhala. Tentu saat ini pergelutan dan pertentangan antara beliau dan kaumnya semakin tajam dan semakin meluas. Beban yang paling berat adalah saat beliau harus berhadapan dengan ayahnya, di mana profesion si ayah dan rahsia kedudukannya merupakan biang keladi dari segala penyembahan yang diikuti majoriti kaumnya. Nabi Ibrahim keluar untuk berdakwah kepada kaumnya dengan berkata:

“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya? Mereka menjawab: ‘Kami mendapati bapak-bapak Kami menyembahnya.” Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya kamu dan bapak- bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata.’ Mereka menjawab: ‘Apakah kamu datang kepada kami sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang yang bermain-main?’ Ibrahim berkata: ‘Sebenarnya tuhan kamu adalah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakan- Nya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu.'” (QS. al-Anbiya': 52-56)

Selesailah urusan. Mulailah terjadi pergelutan antara Nabi Ibrahim dan kaumnya. Tentu yang termasuk orang yang paling menentang beliau dan marah kepada sikap beliau itu adalah ayahnya dan bapa saudaranya yang mendidiknya laksana seorang ayah. Akhirnya, si ayah dan si anak terlibat dalam pergelutan yang sengit di mana kedua-duanya dipisahkan oleh prinsip-prinsip yang berbeza. Si anak bertengger di puncak kebenaran bersama Allah SWT sedangkan si ayah berdiri bersama kebatilan. Si ayah berkata kepada anaknya: “Sungguh besar ujianku kepadamu wahai Ibrahim. Engkau telah berkhianat kepadaku dan bersikap tidak terpuji kepadaku.” Ibrahim menjawab:

“Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak dapat mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, nescaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan, sesungguhnya syaitan itu derhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahawa kamu akan ditimpa azab dan Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan.'” (QS. Maryam: 42-45)

Sang ayah segera bangkit dan ia tak kuasa lagi untuk meledakkan amarahnya kepada Ibrahim:

“Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka nescaya kamu akan aku rejam, dan tinggalanlah aku buat waktu yang lama.” (QS. Maryam: 46)

Jika engkau tidak berhenti dari dakwahmu ini, sungguh aku akan merejammu. Aku akan membunuhmu dengan pukulan batu. Demikian balasan siapa pun yang menentang tuhan. Keluarlah dari rumahku! Aku tidak ingin lagi melihatmu. Keluar!

Akhirnya, pertentangan itu membawa akibat pengusiran Nabi Ibrahim dari rumahnya, dan beliau pun terancam pembunuhan dan perejaman. Meskipun demikian, sikap Nabi Ibrahim tidak pernah berubah. Beliau tetap menjadi anak yang baik dan Nabi yang mulia. Beliau berdialog dengan ayahnya dengan menggunakan adab para nabi dan etika para nabi. Ketika mendengar penghinaan, pengusiran, dan ancaman pembunuhan dari ayahnya, beliau berkata dengan lembut:

“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku, sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku.'” (QS. Maryam: 47-48)

Nabi Ibrahim pun keluar dari rumah ayahnya. Beliau meninggalkan kaumnya dan menyembah selain Allah SWT. Beliau menetapkan suatu urusan dalam dirinya, beliau mengetahui bahawa di sana ada pesta besar yang diadakan di tepi sungai di mana manusia-manusia berduyu-duyun menuju ke sana. Beliau menunggu sampai perayaan itu datang di mana saat itu kota menjadi sunyi kerana ditinggalkan oleh manusia yang hidup di dalamnya dan mereka menuju ke tempat itu. Jalan-jalan yang menuju tempat penyembahan menjadi sepi dan tempat penyembahan itu pun ditinggalkan oleh penjaganya. Semua orang mengikuti pesta itu.

Dengan penuh hati-hati, Ibrahim memasuki tempat penyembahan dengan membawa kapak yang tajam. Ibrahim melihat patung-patung tuhan yang terukir dari batu-batu dan kayu-kayu. Ibrahim pun melihat makanan yang diletakkan oleh manusia di depannya sebagai hadiah dan nazar. Ibrahim mendekat pada patung-patung itu. Kepada salah satu patung – dengan nada bercanda – ia berkata: “Makanan yang ada di depanmu hai patung telah dingin. Mengapa engkau tidak memakannya. Namun patung itu tetap membisu.” Ibrahim pun bertanya kepada patung-patung lain di sekitarnya:

“Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata” Mengapa kalian tidak makan?” (QS. ash- Shaffat: 91)

Ibrahim mengejek patung-patung itu. Ibrahim mengetahui bahawa patung itu memang tidak dapat memakannya. Ibrahim bertanya kepada patung-patung itu:

“Mengapa kamu tidak menjawab?” (QS. ash-Shaffat: 92)

Ibrahim pun langsung mengangkat kapak yang ada di tangannya dan mulai menghancurkan tuhan-tuhan yang palsu yang disembah oleh manusia. Ibrahim menghancurkan seluruh patung-patung itu dan hanya menyisakan satu patung, lalu beliau menggantungkan kapak itu dilehernya. Setelah melaksanakan tugas itu, beliau pergi menuju ke gunung. Beliau telah bersumpah untuk membawa suatu bukti yang jelas, bahkan bukti praktis tentang kebodohan kaumnya dalam menyembah selain Allah SWT.

Akhirnya, pesta perayaan itu selesai dan manusia kembali ke tempat mereka masing-masing. Dan ketika salah seorang masuk ke tempat sembahan itu ia pun berteriak. Manusia-manusia datang menolongnya dan ingin mengetahui apa sebab di balik teriakan itu. Dan mereka mengetahui bahawa tuhan-tuhan semuanya telah hancur yang tersisa hanya satu. Mereka mulai berfikir siapa penyebab semua ini. Akhirnya mereka pun mengetahui dan menyedari bahawa ini adalah Nabi Ibrahim yang telah mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT:

“Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala
ini yang bernama Ibrahim”.” (QS. al-Anbiya': 60)

Mereka segera mendatangi Ibrahim. Ketika Ibrahim datang mereka bertanya kepadanya:

“Mereka bertanya: “Apakah benar engkau yang melakukan semua ini terhadap tuhan kami wahai Ibrahim?” (QS. al-Anbiya': 62)

Ibrahim membalas dengan senyuman lalu ia menunjuk kepada tuhan yang paling besar yang tergantung di lehernya sebuah kapak. “Tidak!”

“Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara”. ” (QS. al-Anbiya': 63)

Para dukun berkata: “Siapa yang harus kita tanya?” Ibrahim menjawab: “Tanyalah kepada tuhan kalian.” Kemudian mereka berkata: “Bukankah engkau mengetahui bahawa tuhan-tuhan itu tidak berbicara.” Ibrahim membalas: “Mengapa kalian menyembah sesuatu yang tidak mampu berbicara, sesuatu yang tidak mampu memberikan manfaat dan sesuatu yang tidak mampu memberikan mudarat. Tidakkah kalian mahu berfikir sebentar di mana letak akal kalian. Sungguh tuhan-tuhan kalian telah hancur sementara tuhan yang paling besar berdiri dan hanya memandanginya. Tuhan-tuhan itu tidak mampu menghindarkan gangguan dari diri mereka, dan bagaimana mereka dapat mendatangkan kebaikan buat kalian. Tidakkah kalian mahu berfikir sejenak. Kapak itu tergantung di tuhan yang paling besar tetapi anehnya dia tidak dapat menceritakan apa yang terjadi. Ia tidak mampu berbicara, tidak mendengar, tidak bergerak, tidak melihat, tidak memberikan manfaat, dan tidak membahayakan. Ia hanya sekadar batu, lalu mengapa manusia menyembah batu? Di mana letak akal fikiran yang sehat?” Allah SWT menceritakan peristiwa tersebut dalam firman-Nya:

“Dan sesungguhnya telah kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui keadaannya. (Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Patung-patung itu apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya ?’ Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.’ Ibrahim menjawab: ‘Sesungguhnya kamu dan bapak- bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata.’ Mereka menjawab: ‘Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?’ Ibrahim berkata: ‘Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas apa yang demikian itu. Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala- berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.’ Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: ‘Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim.’ Mereka berkata: ‘Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.’ Mereka berkata: ‘(Kalau demikian) Bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikannya.’ Mereka bertanya: ‘Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?’ Ibrahim menjawab: ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.’ Maka mereka telah kembali kepada kesedaran mereka dan lalu berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang- orang yang menganiaya (diri sendiri).’ Kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata): Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahawa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.’ Ibrahim berkata:, maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun tidak dapat pula memberi mudarat kepada kamu?’ Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahaminya? Mereka berkata: ‘Bakarlah dia dan bantulah tuhan- tuhan kami jika kamu benar-benar hendak bertindak.'” (QS. al- Anbiya': 51-68)

Nabi Ibrahim mampu menundukkan mereka dengan argumentasi dan logik berfikir yang sehat. Tetapi mereka membalasnya dengan menetapkan akan menggantungnya di dalam api. Sungguh ini sangat menghairankan. Suatu mahkamah yang mengerikan digelar di mana si tertuduh akan dihukum dengan pembakaran.

Demikianlah masalah pergelutan antara pemikiran, atau antara nilai- nilai, atau antara prinsip-prinsip selalu terjadi dan selalu membara di tengah-tengah masyarakat. Nabi Ibrahim sudah berusaha untuk menggugah hati dan fikiran Ketika beliau mengisyaratkan kepada tuhan yang paling besar dan menuduhnya bahawa ialah yang menghancurkan tuhan-tuhan yang lain. Nabi Ibrahim meminta kepada mereka untuk bertanya kepada para tuhan itu, tentang siapa yang membuatnya hancur. Tetapi para tuhan itu tidak mampu berbicara lalu mengapa manusia menyembah sesuatu yang tidak mampu berbicara dan tidak mengerti apa-apa.

Ketika Nabi Ibrahim berhasil merobohkan argumentasi mereka, maka orang-orang yang sombong bangkit untuk menenangkan suasana. Para penentang itu tidak mahu manusia akan menyembah selain berhala. Mereka pun mengatakan akan menggantung dan akan membakar Ibrahim hidup-hidup. Nabi Ibrahim pun ditangkap lalu disiapkanlah tempat pembakaran. Para penentang itu berkata kepada pengikutnya: “Bakarlah Ibrahim, dan tolonglah tuhan kalian jika kalian benar-benar menyembahnya.” Mereka pun terpengaruh dengan ucapan tersebut. Mereka pun menyiapkan alat-alat untuk membakar Nabi Ibrahim.

Tersebarlah berita itu di kerajaan dan di seluruh negeri. Manusia-manusia berdatangan dari berbagai pelosok, dari gunung-gunung, dari berbagai desa, dan dari berbagai kota untuk menyaksikan balasan yang diterima bagi orang yang berani menentang tuhan, bahkan menghancurkannya. Mereka menggali lubang besar yang dipenuhi kayu-kayu, batu-batu, dan pohon-pohon lalu mereka menyalakan api di dalamnya. Kemudian mereka mendatangkan manjaniq, yaitu suatu alat yang dapat digunakan untuk melempar Nabi Ibrahim ke dalam api sehingga ia jatuh ke dalam lubang api. Mereka meletakkan Nabi Ibrahim setelah mereka mengikat kedua tangannya dan kakinya pada manjaniq itu. Api pun mulai menyala dan asapnya mulai membumbung ke langit. Manusia yang melihat peristiwa itu berdiri agak jauh dari galian api itu kerana saking panasnya. Lalu, seorang tokoh dukun memerintahkan agar Ibrahim dilepaskan ke dalam api. Tiba-tiba malaikat Jibril berdiri di hadapan Nabi Ibrahim dan bertanya kepadanya: “Wahai Ibrahim, tidakkah engkau memiliki keperluan?” Nabi Ibrahim menjawab: “Aku tidak memerlukan sesuatu darimu.” Nabi Ibrahim pun dilepaskan lalu dimasukkan ke dalam kubangan api. Nabi Ibrahim terjatuh dalam api. Api pun mulai mengelilinginya, lalu Allah SWT menurunkan perintah kepada api, Allah SWT berkata:

“Kami berfirman: Wahai api jadilah engkau dingin dan membawa keselamatan kepada
Ibrahim.” (QS. al-Anbiya': 69)

Api pun tunduk kepada perintah Allah SWT sehingga ia menjadi dingin dan membawa keselamatan bagi Nabi Ibrahim. Api hanya membakar tali- tali yang mengikat Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim dengan tenang berada di tengah-tengah api seakan-akan beliau duduk di tengah-tengah taman. Beliau memuji Allah SWT, Tuhannya dan mengagungkan-Nya. Yang ada di dalam hatinya hanya cinta kepada sang Kekasih, yaitu Allah SWT.

Hati Nabi Ibrahim tidak dipenuhi rasa takut atau menyesal atau berkeluh kesah. Yang ada dalam hati beliau hanya cinta semata. Api pun menjadi damai dan menjadi dingin. Sesungguhnya orang-orang yang cinta kepada Allah SWT tidak akan merasakan ketakutan. Para pembesar dan para dukun mengamat-amati dari jauh betapa panasnya api itu. Bahkan api terus menyala dalam tempo yang lama, sehingga orang-orang kafir mengira bahawa api itu tidak pernah padam. Ketika api itu padam, mereka dibuat terkejut ketika melihat Nabi Ibrahim keluar dari kubangan api dalam keadaan selamat. Wajah mereka menjadi hitam kerana terpengaruh asap api sementara wajah Nabi Ibrahim berseri-seri dan tampak diliputi dengan cahaya dan kebesaran. Bahkan pakaian yang dipakai Nabi Ibrahim pun tidak terbakar, dan beliau tidak tersentuh sedikit pun oleh api. Nabi Ibrahim pun keluar dari api itu bagaikan beliau keluar dari taman. Lalu orang-orang kafir pun berteriak kehairanan. Mereka pun mendapatkan kekalahan dan kerugian. Allah SWT berfirman:

“Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugi.” (QS. al-Anbiya': 70)

Al-Quran tidak menceritakan kepada kita tentang usia Nabi Ibrahim saat menghancurkan berhala-berhala kaumnya. Al-Quran juga tidak menceritakan berapa usia beliau saat memikul tanggung jawab dakwah dan menyeru di jalan Allah SWT. Melalui pelacakan nas-nas dapat diketahui bahawa Nabi Ibrahim saat itu masih muda belia, ketika melakukan peristiwa besar itu. Bukti hal itu adalah, ketika para kaumnya mendengar penghancuran berhala, mereka berkata:

“Mereka berkata: “Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.” (QS. al-Anbiya': 60)

Injil Barnabas menceritakan bahawa Nabi Ibrahim menghancurkan patung-patung sebelum Allah SWT mewajibkannya berdakwah. Injil Barnabas mengatakan pada pasal ke 29 bahawa Nabi Ibrahim mendengar suatu suara yang memanggil-manggilnya. Nabi Ibrahim bertanya: “Siapa yang memanggilku?” Ketika itu Nabi Ibrahim mendengar suara yang berkata: “Aku adalah malaikat Jibril. Nabi Ibrahim menjadi takut, tetapi malaikat itu segera menenangkannya sambil berkata: “Jangan takut, hai Ibrahim kerana engkau adalah kekasih Allah SWT, dan ketika engkau menghancurkan tuhan-tuhan sembahan manusia, Allah SWT memilihmu sebagai pemimpin para malaikat dan para nabi.” Kemudian – masih kata Injil Barnabas: “Nabi Ibrahim bertanya apa yang harus dilakukan untuk menyembah tuhan para malaikat dan para nabi?” Jibril menjawab: “bahawa hendaklah beliau pergi ke sumber ini dan mandi, agar dapat mendaki gunung sehingga Allah SWT berbicara dengannya.”

Kemudian Nabi Ibrahim mendaki gunung, lalu Allah SWT menyerunya. Nabi Ibrahim menjawab: “Siapa yang memanggilku?” Allah SWT berkata: “Aku adalah Tuhanmu, hai Ibrahim.” Nabi Ibrahim gementar ketakutan dan sujud di atas bumi dan beliau berkata: “Wahai Tuhanku, bagaimana hamba-Mu mendengar seruan-Mu sementara ia adalah tanah dan abu.” Di sanalah Allah SWT memerintahkannya agar beliau bangkit kerana Allah SWT telah memilihnya sebagai hamba-Nya dan Dia telah memberkatinya dan orang-orang yang mengikutinya.

Riwayat tersebut menentukan waktu pemilihan Nabi Ibrahim dan waktu pengangkatannya sewaktu beliau menghancurkan berhala dan penyembahan manusia. Demikianlah yang diceritakan oleh Al-Quran al- Karim dalam firman-Nya:

“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab: ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (QS. al- Baqarah: 131)

Alhasil, masa pemilihan Allah SWT terhadap Nabi Ibrahim tidak ditentukan dalam Al-Quran, sehingga kita tidak dapat memberikan satu jawapan pasti tentang hal itu, tapi yang mampu kita utarakan adalah, bahawa Nabi Ibrahim mampu membuat argumen yang cukup jelas untuk menghancurkan argumen para penyembah berhala. Sebagaimana beliau mampu sebelumnya menghancurkan argumen para penyembah bintang, sehingga hanya tersisa satu argumen yang harus disampaikan kepada para penguasa dan para raja. Dengan demikian, orang-orang kafir telah mendapatkan seluruh argumen kebenaran.

Nabi Ibrahim pun akhirnya terlibat adu argumentasi dengan raja yang menyangka bahawa dirinya adalah tuhan kaumnya. Raja itu menyuruh mereka untuk menyembahnya. Dalam rangka menjaga kepentingannya, boleh jadi memang ia menyangka bahawa dirinya tuhan. kerana Allah SWT telah memberikannya suatu kerajaan yang besar, ia lupa bahawa ia hanya manusia biasa. Kita tidak mengetahui, apakah ia seorang raja atas kaum Nabi Ibrahim lalu ia mendengar kisah mukjizatnya kemudian ia memanggilnya untuk berdebat dengan beliau, atau mungkin ia raja dari daerah lain. Tapi yang kita ketahui bahawa pertemuan di antara keduanya menyebabkan jatuhnya argumen-argumen orang kafir. Allah SWT menceritakan hal tersebut dengan firman-Nya:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) kerana Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: ‘Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan.’ Orang itu berkata: ‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,’ lalu hairan terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim. ” (QS. al-Baqarah: 258)

Allah SWT sengaja tidak menyebut nama raja itu kerana dianggap tidak penting, sebagaimana Al-Quran juga tidak menyebut dialog panjang yang terjadi antara Nabi Ibrahim dan dia. Barangkali raja itu berkata kepada Nabi Ibrahim: “Aku mendengar bahawa Anda mengajak manusia untuk menyembah Tuhan yang baru dan meninggalkan tuhan yang lama.” Nabi Ibrahim menjawab: “Tiada Tuhan lain selain Allah Yang Maha Esa.” Si Raja berkata: “Apa yang dilakukan oleh tuhanmu yang tidak dapat aku lakukan?” Raja yang terkena penyakit sombong dan bangga diri itu adalah raja yang tidak tahu diri. Penghormatan manusia dan ketertundukkan manusia kepadanya itu justru meningkatkan kesombongannya. Nabi Ibrahim mendengar apa yang dikatakan oleh si raja. Nabi Ibrahim mengetahui segala sesuatunya. Nabi Ibrahim berkata dengan lembut:

“Tuhanku adalah yang mampu menghidupkan dan mematikan.” (QS. al-Baqarah: 258)

Si raja membalas:

“Aku pun menghidupkan dan mematikan.” (QS. al-Baqarah: 258)

Nabi Ibrahim tidak bertanya bagaimana si raja menghidupkan dan mematikan. Nabi Ibrahim tahu bahawa sebenarnya ia berbohong. Raja berkata: “Aku mampu menghadirkan seseorang yang sedang berjalan lalu aku membunuhnya, dan pada kesempatan yang lain aku mampu memaafkan orang yang sudah dipastikan untuk dihukum gantung lalu aku menyelamatkannya dari kematian. Dengan demikian, aku mampu memberi kehidupan dan kematian.”

Mendengar kebodohannya itu, Nabi Ibrahim tertawa dan pada saat yang sama beliau merasakan kesedihan. Tetapi Nabi Ibrahim ingin mematahkan argumen raja itu yang mengatakan bahawa ia mampu menghidupkan dan mematikan, padahal sebenarnya ia tidak mampu. Nabi Ibrahim berkata:

“Sesungguhnya Allah mampu mendatangkan matahari dari timur, maka kalau engkau mampu datangkanlah ia dari barat. ” (QS. al- Baqarah: 258)

Mendengar tentangan Nabi Ibrahim itu, raja menjadi terpaku dan terdiam ia merasa tidak mampu. la tidak mampu berkata-kata lagi. Nabi Ibrahim berkata kepada raja bahawa Allah SWT mampu mendatangkan matahari dari timur, apakah ia mampu mendatangkan matahari dari barat. Tentu raja tidak mampu mendatangkannya. Alam mempunyai aturan dan undang-undang yang diatur dan diciptakan oleh Allah SWT di mana tiada makhluk yang lain yang mampu mengubahnya. Jika raja mengaku bahawa ia benar-benar tuhan, maka tentu ia dapat mengubah hukum alam tersebut. Saat itu si raja merasa tidak mampu memenuhi tentangan itu. Ia justru membisu. Ia tidak mengetahui apa yang harus dikatakannya dan apa yang harus dilakukannya. Setelah orang-orang kafir diam membisu, Nabi Ibrahim meninggalkan istana raja. Kemudian kebenaran Nabi Ibrahim tersebar di segala penjuru negeri. Manusia mulai ramai-ramai membicarakan mukjizatnya dan keselamatannya dari api. Manusia menyinggung bagaimana sikap raja ketika mendengar tentangan Nabi Ibrahim, dan bagaimana si raja menjadi membisu dan tidak mengetahui apa yang harus dikatakannya.

Nabi Ibrahim tetap melanjutkan dakwahnya di jalan Allah SWT. Nabi Ibrahim mencurahkan tenaga dan upayanya untuk membimbing kaumnya. Nabi Ibrahim berusaha menyedarkan mereka dengan berbagai cara. Meskipun beliau sangat cinta dan menyayangi mereka, mereka malah justru marah kepadanya dan malah mengusirnya. Dan tiada yang beriman bersamanya kecuali seorang perempuan dan seorang lelaki. Perempuan itu bernama Sarah yang kemudian menjadi isterinya sedangkan laki-laki itu adalah Luth yang kemudian menjadi nabi setelahnya.

Ketika Nabi Ibrahim mengetahui bahawa tidak seorang pun beriman selain kedua orang tersebut, ia menetapkan untuk berhijrah. Sebelum beliau berhijrah, ia mengajak ayahnya beriman. Kemudian Nabi Ibrahim mengetahui bahawa ayahnya adalah musuh Allah SWT dan dia tidak akan beriman. Nabi Ibrahim pun berlepas diri darinya dan memutuskan hubungan dengannya.

Untuk kedua kalinya dalam kisah para nabi kita mendapati hal yang mengagetkan. Dalam kisah Nabi Nuh kita menemukan bahawa si ayah seorang nabi dan si anak seorang kafir, sedangkan dalam kisah Nabi Ibrahim justru sebaliknya: si ayah yang menjadi kafir dan si anak yang menjadi nabi. Dalam kedua kisah tersebut kita mengetahui bahawa seorang mukmin berlepas diri dari musuh Allah SWT, meskipun dia adalah anaknya dan ayahnya.

Melalui kisah tersebut, Allah SWT memberitahukan kepada kita bahawa hubungan satu-satunya yang harus dipelihara dan harus diperhatikan di antara hubungan-hubungan kemanusiaan adalah hubungan keimanan, bukan hanya hubungan darah. Allah SWT berflrman dalam surah at- Taubah:

“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah kerana suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahawa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. ” (QS. at-Taubah: 114)

Nabi Ibrahim keluar meninggalkan negerinya dan memulai petualangannya dalam hijrah. Nabi Ibrahim pergi ke kota yang bernama Aur dan ke kota yang lain bernama Haran, kemudian beliau pergi ke Palestina bersama isterinya, satu-satunya wanita yang beriman kepadanya. Beliau juga disertai Luth, satu-satunya lelaki yang beriman kepadanya. Allah SWT berfirman:

“Maka Luth membenarkan (kenabian)nya. Dan berkatalah Ibrahim: ‘Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); sesungguhnya Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.'” (QS. al-Ankabut: 26)

Setelah ke Palestin, Nabi Ibrahim pergi ke Mesir. Selama perjalanan ini Nabi Ibrahim mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT, bahkan beliau berjuang dalam hal itu denqan gigih. Beliau mengabdi dan membantu orang-orang yang tidak mampu dan orang-orang yang lemah. Beliau menegakkan keadilan di tengah-tengah manusia dan menunjukkan kepada mereka jalan yang benar.

isteri Nabi Ibrahim, Sarah, tidak melahirkan, lalu raja Mesir memberikan seorang pembantu dari Mesir yang dapat membantunya. Nabi Ibrahim telah menjadi tua dan rambutnya memutih di mana beliau menggunakan usianya hanya untuk berdakwah di jalan Allah SWT. Sarah berfikir bahawa ia dan Nabi Ibrahim tidak akan mempunyai anak, lalu ia berfikir bagaimana seandainya wanita yang membatunya itu dapat menjadi isteri kedua dari suaminya. Wanita Mesir itu bernama Hajar. Akhirnya, Sarah menikah-kan Nabi Ibrahim dengan Hajar, kemudian Hajar melahirkan anaknya yang pertama yang dinamakan oleh ayahnya dengan nama Ismail. Nabi Ibrahim saat itu menginjak usia yang sangat tua ketika Hajar melahirkan anak pertamanya, Ismail.

Nabi Ibrahim hidup di bumi Allah SWT dengan selalu menyembah-Nya, bertasbih, dan menyucikan-Nya. Kita tidak mengetahui, berapa jauh jarak yang ditempuh Nabi Ibrahim dalam perjalanannya. Beliau adalah seorang musafir di jalan Allah SWT. Seorang musafir di jalan Allah SWT menyedari bahawa hari-hari di muka bumi sangat cepat berlalu, kemudian di tiupkan sangkakala lalu terjadilah hari kiamat dan kemudian hari kebangkitan.

Pada suatu hari, had Nabi Ibrahim dipenuhi rasa kedamaian, cinta, dan keyakinan. Beliau ingin melihat kebesaran Allah SWT, Sang Pencipta. Beliau ingin melihat hari kiamat sebelum terjadinya. Allah SWT menceritakan sikapnya itu dalam firman-Nya:

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata: ‘Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana engkau menghidupkan arang yang mati. ‘Allah berfirman: ‘Belum yakinkah kamu?’ Ibrahim menjawab: ‘Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).'” (QS. al-Baqarah: 260)

Hasrat Nabi Ibrahim terhadap hal tersebut dipengaruhi oleh keimanan yang luar biasa; keimanan yang dipenuhi cinta kepada Allah SWT.

Allah SWT berfirman:

“(Kalau demikian), ambillah empat ekor burung lalu cincanglah semuanya. Allah berfirman: ‘Lalu letakkanlah di atas bahagian- bahagian itu, kemudian panggillah mereka, nescaya mereka datang kepadamu dengan segera,” dan ketahuilah bahawa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Baqarah: 260)

Nabi Ibrahim melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Allah SWT. Beliau menyembelih empat ekor burung lalu memisah-misahkan bahagiannya di atas gunung, kemudian ia memanggilnya dengan nama Allah SWT. Tiba-tiba bulu-bulu dan burung itu bangkit dan bergabung dengan sayap-sayapnya, kemudian dada dari burung itu mencari kepalanya. Akhirnya, bahagian-bahagian burung yang terpisah kembali bergabung. Burung itu pun kembali mendapatkan kehidupan lalu burung itu terbang dengan cepat dan kembali ke pangkuan Nabi Ibrahim.

Para ahli tafsir meyakini bahawa eksperimen ini berangkat dari kehausan ilmu yang ada pada Nabi Ibrahim, dan sebahagian lagi mengatakan bahawa beliau ingin melihat kebesaran Allah SWT saat menciptakan makhluk-Nya. Beliau memang sudah mengetahui hasilnya, tapi beliau tidak melihat cara pembuatan penciptaan makhluk. Sebahagian mufasir lain mengatakan bahawa beliau merasa puas atas apa yang dikatakan oleh Allah SWT dan beliau tidak jadi menyembelih burung. Kami sendiri menilai bahawa eksperimen ini menunjukkan tingkat cinta yang tinggi yang dicapai oleh seorang musafir di jalan Allah SWT, yaitu Nabi Ibrahim. Seorang pencinta akan selalu timbul dalam dirinya hasrat, rasa tunduk, dan rasa ingin menambah cintanya. Demikianlah cinta Nabi Ibrahim. Inilah petualangan Nabi Ibrahim di mana setiap kali ia melalui perjalanannya, maka kehausan cintanya pun meningkat. Pada suatu hari Nabi Ibrahim bangun lalu beliau memerintahkan isterinya, Hajar, untuk membawa anaknya bersiap-siap untuk melalui perjalanan panjang. Setelah beberapa hari, di mulailah perjalanan Nabi Ibrahim bersama isterinya Hajar berserta anak mereka, Ismail. Saat itu Ismail masih menyusu pada ibunya.

Nabi Ibrahim berjalan di tengah-tengah tanah yang penuh dengan tanaman, melewati gurun dan gunung-gunung. Kemudian beliau memasuki tanah Arab. Nabi Ibrahim menuju ke suatu lembah yang di dalamnya tidak ada tanaman, tidak ada buah-buahan, tidak ada pepohonan, tidak ada makanan dan tidak ada air. Lembah itu kosong dari tanda-tanda kehidupan. Nabi Ibrahim sampai ke lembah, lalu beliau turun dari atas punggung haiwan tunggangannya. Lalu beliau menurunkan isterinya dan anaknya dan meninggalkan mereka di sana. Mereka hanya dibekali dengan makanan dan sedikit air yang tidak cukup untuk kebutuhan dua hari.

Ketika beliau mulai meninggalkan mereka dan berjalan, tiba-tiba isterinya segera menyusulnya dan berkata kepadanya: “Wahai Ibrahim, ke mana engkau pergi? Mengapa engkau meninggalkan kami di lembah ini, padahal di dalamnya tidak terdapat sesuatu pun.” Nabi Ibrahim tidak segera menjawab dan ia tetap berjalan. isterinya pun kembali mengatakan perkataan yang dikatakan sebelumnya. Namun Nabi Ibrahim tetap diam. Akhirnya, si isteri memahami bahawa Nabi Ibrahim tidak bersikap demikian kecuali mendapat perintah dari Allah SWT. Kemudian si isteri bertanya: “Apakah Allah SWT memerintahkannya yang demikian ini?” Nabi Ibrahim menjawab: “Benar.” isteri yang beriman itu berkata: “Kalau begitu, kita tidak akan disia-siakan.” Nabi Ibrahim menuju ke tempat di suatu gunung lalu beliau mengangkat kedua tangannya untuk berdoa kepada Allah SWT:

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. ” (QS. Ibrahim: 37)

Saat itu Baitullah belum dibangun. Terdapat hikmah yang tinggi dalam perjalanan yang penuh dengan misteri ini. Ismail ditinggalkan bersama ibunya di tempat ini. Ismail-lah yang akan bertanggungjawab bersama ayahnya dalam pembangunan Ka’bah. Hikmah Allah SWT menuntut untuk didirikannya suatu bangunan di lembah itu dan dibangun di dalamnya Baitullah, di mana kita akan menuju ke sana dan menghadap kepadanya saat kita solat.

Nabi Ibrahim meninggalkan isterinya dan anaknya yang masih menyusu di padang sahara. Ibu Ismail menyusui anaknya dan mulai merasakan kehausan. Saat itu matahari bersinar sangat panas dan membuat manusia mudah merasa haus. Setelah dua hari, habislah air dan keringlah susu si ibu. Hajar dan Ismail merasakan kehausan, dan makanan telah tiada sehingga saat itu mereka merasakan kesulitan yang luar biasa. Ismail mulai menangis kehausan dan ibunya meninggalkannya untuk mencarikan air. Si ibu berjalan dengan cepat hingga sampai di suatu gunung yang bernama Shafa. Ia menaikinya dan meletakkan kedua tangannya di atas keningnya untuk melindungi kedua matanya dari sengatan matahari. Ia mulai mencari-cari sumber air atau sumur atau seseorang yang dapat membantunya atau kafilah atau musafir yang dapat menolongnya atau berita namun semua harapannya itu gagal. Ia segera turun dari Shafa dan ia mulai berlari dan melalui suatu lembah dan sampai ke suatu gunung yang bernama Marwah. Ia pun mendakinya dan melihat apakah ada seseorang tetapi ia tidak melihat ada seseorang.

Si ibu kembali ke anaknya dan ia masih mendapatinya dalam keadaan menangis dan rasa hausnya pun makin bertambah. Ia segera menuju ke Shafa dan berdiri di atasnya, kemudian ia menuju ke Marwah dan melihat-lihat. Ia mondar-mandir, pulang dan pergi antara dua gunung yang kecil itu sebanyak tujuh kali. Oleh kerananya, orang-orang yang berhaji berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Ini adalah sebagai peringatan terhadap ibu mereka yang pertama dan nabi mereka yang agung, yaitu Ismail.

Setelah putaran ketujuh, Hajar kembali dalam keadaan letih dan ia duduk di sisi anaknya yang masih menangis. Di tengah-tengah situasi yang sulit ini, Allah SWT menurunkan rahmat-Nya. Ismail pun memukul- mukulkan kakinya di atas tanah dalam keadaan menangis, lalu memancarlah di bawah kakinya sumur zamzam sehingga kehidupan si anak dan si ibu menjadi terselamatkan. Si ibu mengambil air dengan tangannya dan ia bersyukur kepada Allah SWT. Ia pun meminum air itu berserta anaknya, dan kehidupan tumbuh dan bersemi di kawasan itu. Sungguh benar apa yang dikatakannya bahawa Allah SWT tidak akan membiarkannya selama mereka berada di jalan-Nya.

Kafilah musafir mulai tinggal di kawasan itu dan mereka mulai mengambil air yang terpancar dari sumur zamzam. Tanda-tanda kehidupan mulai mengepakkan sayapnya di daerah itu. Ismail mulai tumbuh dan Nabi Ibrahim menaruh kasih sayang dan perhatian padanya, lalu Allah SWT mengujinya dengan ujian yang berat. Allah SWT menceritakan ujian tersebut dalam firman-Nya:

“Dan Ibrahim berkata: Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugerahkan kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang soleh. Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim. Ibrahim berkata: ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahawa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya- Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah din dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. ” (QS. ash-Shaffat: 99-111)

Perhatikanlah, bagaimana Allah SWT menguji hamba-hamba-Nya. Renungkanlah bentuk ujian tersebut. Kita sekarang berada di hadapan seorang nabi yang hatinya merupakan hati yang paling lembut dan paling penyayang di muka bumi. Hatinya penuh dengan cinta kepada Allah SWT dan cinta kepada makhluk-Nya. Nabi Ibrahim mendapatkan anak saat beliau menginjak usia senja, padahal sebelumnya beliau tidak membayangkan akan memperoleh kurnia seorang anak.

Nabi Ibrahim tidur, dan dalam tidurnya beliau melihat dirinya sedang menyembelih anaknya, anak satu-satunya yang dicintainya. Timbullah pergolakan besar dalam dirinya. Sungguh salah kalau ada orang mengira bahawa tidak ada pergolakan dalam dirinya. Nabi Ibrahim benar-benar diuji dengan ujian yang berat. Ujian yang langsung berhubungan dengan emosi kebapakan yang penuh dengan cinta dan kasih sayang. Nabi Ibrahim berfikir dan merenung. Kemudian datanglah jawapan bahawa Allah SWT melihatkan kepadanya bahawa mimpi para nabi adalah mimpi kebenaran. Dalam mimpinya, Nabi Ibrahim melihat bahawa ia menyembelih anak satu-satunya. Ini adalah wahyu dari Allah SWT dan perintah dari-Nya untuk menyembelih anaknya yang dicintainya.

Sebagai pencinta sejati, Nabi Ibrahim tidak merasakan kegelisahan dari hal tersebut. Ia tidak “menggugat” perintah Allah SWT itu. Nabi Ibrahim adalah penghulu para pencinta. Nabi Ibrahim berfikir tentang apa yang dikatakan kepada anaknya ketika ia menidurkannya di atas tanah untuk kemudian menyembelihnya. Lebih baik baginya untuk memberitahu anaknya dan hal itu lebih menenangkan hatinya daripada memaksanya untuk menyembelih. Akhirnya, Nabi Ibrahim pergi untuk menemui anaknya.

“Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku sesungguhnya aku melihat di dalam mimpi, aku menyembelihmu, maka bagaimana pendapatmu. ” (QS. ash-Shaffat: 102)

Perhatikanlah bagaimana kasih sayang Nabi Ibrahim dalam menyampaikan perintah kepada anaknya. la menyerahkan urusan itu kepada anaknya; apakah anaknya akan menaati perintah tersebut. Bukankah perintah tersebut adalah perintah dari Tuhannya? Ismail menjawab sama dengan jawapan dari ayahnya itu bahawa perintah itu datangnya dari Allah SWT yang kerananya si ayah harus segera melaksanakannya:

“Wahai ayahku kerjakanlah yang diperintahkan Tuhanmu. Insya Allah engkau mendapatiku sebagai orang-orang yang sabar.” (QS. ash- Shaffat: 102)

Perhatikanlah jawapan si anak. Ia mengetahui bahawa ia akan disembelih sebagai pelaksanaan perintah Tuhan, namun ia justru menenangkan hati ayahnya bahawa dirinya akan bersabar. Itulah puncak dari kesabaran. Barangkali si anak akan merasa berat ketika harus dibunuh dengan cara disembelih sebagai pelaksanaan perintah Allah SWT. Tetapi Nabi Ibrahim merasa tenang ketika mendapati anaknya menentangnya untuk menunjukkan kecintaan kepada Allah SWT.

Kita tidak mengetahui perasaan sesungguhnya Nabi Ibrahim ketika mendapati anaknya menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Allah SWT menceritakan kepada kita bahawa Ismail tertidur di atas tanah dan wajahnya tertelungkup di atas tanah sebagai bentuk hormat kepada Nabi Ibrahim agar saat ia menyembelihnya Ismail tidak melihatnya, atau sebaliknya. Kemudian Nabi Ibrahim mengangkat pisaunya sebagai pelaksanaan perintah Allah SWT:

“Tatkala keduanya telah berserah din dan Ibrahim, membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).” (QS. ash- Shaffat: 103)

Al-Quran menggunakan ungkapan tersebut ketika keduanya menyerahkan diri terhadap perintah Allah SWT. Ini adalah wujud Islam yang hakiki. Hendaklah engkau memberikan sesuatu untuk Islam sehingga tidak ada sesuatu pun yang tersisa darimu. Pada saat pisau siap untuk digunakan sebagai perintah dari Allah SWT, Allah SWT memanggil Ibrahim. Selesailah ujiannya, dan Allah SWT menggantikan Ismail dengan suatu korban yang besar.

Peristiwa tersebut kemudian diperingati sebagai hari raya oleh kaum Muslim, yaitu hari raya yang mengingatkan kepada mereka tentang Islam yang hakiki yang dibawa dan di amalkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. Demikianlah kisah Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim meninggalkan anaknya dan kembali berdakwah di bumi Allah SWT. Nabi Ibrahim berhijrah dari tanah Kaldanin, tempat kelahirannya di Iraq, dan melalui Yordania dan tinggal di negeri Kan’an. Saat berdakwah, beliau tidak lupa bertanya tentang kisah Nabi Luth bersama kaumnya. Nabi Luth adalah orang yang pertama kali beriman kepadanya. Allah SWT telah memberinya pahala dan telah mengutusnya sebagai Nabi kepada kaum yang menentang kebenaran.

Nabi Ibrahim duduk di luar khemahnya dan memikirkan tentang anaknya Ismail, dan kisah mimpinya serta tentang tebusan dari Allah SWT berupa korban yang besar. Hatinya penuh dengan gelora cinta. Nabi Ibrahim tidak mampu menghitung pujian yang harus ditujukan kepada Tuhannya. Matanya berlinangan air mata sebagai bukti rasa terima kasih dan syukur kepada Allah SWT. Mulailah butiran-butiran air matanya bercucuran. Nabi Ibrahim mengingat Ismail dan mulai rindu kepadanya.

Dalam situasi seperti itu, turunlah malaikat (Jibril, Israfil, dan Mikail) ke bumi Jibril. Mereka berubah wujud menjadi manusia yang indah dan tampan. Mereka memegang misi dan tugas khusus. Mereka berjalan di depan Nabi Ibrahim dan menyampaikan berita gembira padanya, kemudian mereka akan mengunjungi kaum Nabi Luth dan memberikan hukum atas kejahatan kaumnya. Melihat wajah-wajah yang bersinar itu, Nabi Ibrahim tercengang dan mengangkat kepalanya. Nabi Ibrahim tidak mengenal mereka. Mereka mengawali ucapan salam. Dan Nabi Ibrahim membalas salam mereka. Nabi Ibrahim bangkit dari tempatnya dan menyambut mereka. Nabi Ibrahim mempersilakan mereka masuk ke dalam rumahnya. Nabi Ibrahim mengira bahawa mereka adalah tamu- tamu asing. Nabi Ibrahim mempersilakan mereka duduk, dan kemudian ia meminta izin kepada mereka untuk keluar dan menemui keluarganya. Sarah, isterinya, bangun ketika Nabi Ibrahim masuk menemuinya. Saat itu Sarah sudah mulai tua dan rambutnya mulai memutih.

Nabi Ibrahim berkata kepada isterinya: “Aku dikunjungi oleh tiga orang asing.” isterinya bertanya: “Siapakah mereka?” Nabi Ibrahim menjawab: “Aku tidak mengenal mereka. Sungguh wajah mereka sangat aneh. Tak ragu lagi, mereka pasti datang dari tempat yang jauh, tetapi pakaian mereka tidak menunjukkan mereka berasal dari daerah yang jauh. Oh ya, apakah ada makanan yang dapat kita berikan kepada mereka?” Sarah berkata: “Separuh daging kambing.” Nabi Ibrahim berkata: “Hanya separuh daging kambing. Kalau begitu, sembelihlah satu kambing yang gemuk. Mereka adalah tamu-tamu yang istimewa. Mereka tidak memiliki haiwan tunggangan atau makanan. Barangkali mereka lapar, atau barangkali mereka orang-orang yang tidak mampu.”

Nabi Ibrahim memilih satu kambing besar dan memerintahkan untuk disembelih serta menyebut nama Allah SWT saat menyembelihnya. Kemudian disiapkanlah makanan. Setelah siap, Nabi Ibrahim memanggil tamu-tamunya untuk makan. isterinya membantu untuk melayani mereka dengan penuh kehormatan. Nabi Ibrahim mengisyaratkan untuk menyebut nama Allah SWT, kemudian Nabi Ibrahim mulai mengawali untuk memakan agar mereka juga mulai makan.

Nabi Ibrahim adalah orang yang sangat dermawan dan beliau mengetahui bahawa Allah SWT pasti membalas orang-orang yang dermawan. Barangkali di rumahnya tidak ada haiwan lain selain kambing itu, tetapi kerana kedermawanannya, beliau pun menghidangkan kambing itu untuk tamunya. Nabi Ibrahim memperhatikan sikap tamu-tamunya, namun tak seorang pun di antara tamunya yang menghulurkan tangan. Nabi Ibrahim mendekatkan makanan itu kepada mereka sambil berkata: “Mengapa kalian tidak makan?” Nabi Ibrahim kembali ke tempatnya sambil mencuri pandangan, tapi lagi-lagi mereka masih tidak memakannya. Saat itu Nabi Ibrahim merasakan ketakutan.

Dalam tradisi kaum Badui diyakini bahawa tamu yang tidak mahu makan hidangan yang disajikan oleh tuan rumah, maka ini bererti bahawa ia hendak berniat jelek pada tuan rumah. Nabi Ibrahim kembali berfikir dengan penuh kehairanan melihat sikap tamu-tamunya. Nabi Ibrahim kembali berfikir, bagaimana tamu-tamu itu secara mendadak menemuinya di mana ia tidak melihat mereka sebelumnya kecuali setelah mereka ada di hadapannya. Mereka tidak memiliki binatang tunggangan yang menghantarkan mereka. Mereka juga tidak membawa bekal perjalanan. Wajah-wajah mereka sangat aneh baginya. Mereka adalah para musafir, tetapi anehnya tidak ada bekas debu perjalanan. Kemudian Nabi Ibrahim mengajak mereka makan, lalu mereka duduk di atas meja makan tetapi mereka tidak makan sedikit pun. Bertambahlah ketakutan Nabi Ibrahim.

Beliau mengangkat pandangannya, lalu beliau mendapati isterinya Sarah berdiri di hujung kamar. Melalui pandangannya yang membisu, Nabi Ibrahim hendak mengatakan bahawa ia merasa takut terhadap tamu- tamunya, namun wanita itu tidak memahaminya. Nabi Ibrahim berfikir bahawa tamu-tamunya itu berjumlah tiga orang dan mereka tampak masih muda-muda sedangkan ia sudah tua. Para malaikat dapat membaca fikiran yang bergolak dalam diri Nabi Ibrahim. Salah seorang malaikat berkata padanya: “Janganlah engkau takut.” Nabi Ibrahim mengangkat kepalanya dan dengan penuh kejujuran ia berkata: “Aku mengakui bahawa aku merasa takut. Aku telah mengajak kalian untuk makan dan telah menyambut kalian, tapi kalian tidak mahu memakannya. Apakah kalian mempunyai niat buruk kepadaku?” Salah seorang malaikat tersenyum dan berkata: “Kita tidak makan wahai Ibrahim, kerana kita adalah malaikat-malaikat Allah SWT dan kami telah diutus kepada kaum Luth.”

Mendengar semua itu, isteri Nabi Ibrahim tertawa. Ia berdiri mengikuti dialog yang terjadi antara suaminya dan mereka. Salah seorang malaikat menoleh kepadanya dan memberinya khabar gembira tentang kelahiran Ishak. Allah SWT memberimu khabar gembira dengan kelahiran Ishak. Wanita tua itu dengan penuh kehairanan berkata:

“Sungguh menghairankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sangat tua pula?” (QS. Hud: 72)

Dan salah seorang malaikat kembali berkata kepadanya:

“Dan sesudah Ishak (lahir pula) Ya’qub.” (QS. Hud: 71)

Engkau akan menyaksikan kelahiran cucumu. Bergolaklah berbagai perasaan dalam had Nabi Ibrahim dan isterinya. Suasana di kamar pun berubah dan hilanglah rasa takut dari Nabi Ibrahim. Kemudian hatinya dipenuhi dengan kegembiraan. isterinya yang mandul berdiri dalam keadaan gementar, kerana berita gembira yang dibawa oleh para malaikat itu cukup menggoncangkan jiwanya. Ia adalah wanita yang tua dan mandul dan suaminya juga laki-laki tua, maka bagaimana mungkin, padahal dia adalah wanita tua. Di tengah-tengah berita yang cukup menggoncangkan tersebut, Nabi Ibrahim bertanya:

“Apakah kamu memberi khabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu khabarkan ini?” (QS. al-Hijr: 54)

Apakah beliau ingin mendengarkan khabar gembira untuk kedua kalinya, ataukah ia ingin agar hatinya menjadi tenang dan mendengar kedua kalinya kurnia dari Allah SWT padanya? Ataukah Nabi Ibrahim ingin menampakkan kegembiraannya kedua kalinya? Para malaikat menegaskan padanya bahawa mereka membawa berita gembira yang penuh dengan kebenaran.

“Mereka menjawab: ‘Kami menyampaikan khabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa.'” (QS. al-Hijr: 55)

“Ibrahim berkata: ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya,
kecuali orang-orang yang sesat.'” (QS. al-Hijr: 56)

Para malaikat tidak memahami perasaan kemanusiaannya, maka mereka melarangnya agar jangan sampai berputus asa. Nabi Ibrahim memahamkan mereka bahawa ia tidak berputus asa tetapi yang ditampakkannya hanya sekadar kegembiraan. Kemudian isteri Nabi Ibrahim turut bergabung dalam pembicaraan bersama mereka. la bertanya dengan penuh kehairanan: “Apakah aku akan melahirkan sementara aku adalah wanita yang sudah tua. Sungguh hal ini sangat menghairankan.” Para malaikat menjawab:

“Para malaikat itu berkata: ‘Apakah kamu merasa hairan tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai Ahlul bait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.'” (QS. Hud: 73)

Berita gembira itu bukan sesuatu yang sederhana dalam kehidupan Nabi Ibrahim dan isterinya. Nabi Ibrahim tidak mempunyai anak kecuali Ismail di mana ia meninggalkannya di tempat yang jauh, di Jazirah Arab. isterinya Sarah selama puluhan tahun bersamanya dan tidak memberinya anak. Ia sendiri yang menikahkan Nabi Ibrahim dengan pembantunya, Hajar. Maka dari Hajar lahirlah Ismail, sedangkan Sarah tidak memiliki anak. Oleh kerana itu, Sarah memiliki kerinduan besar terhadap anak.

Para malaikat berkata padanya: “Sesungguhnya itu terjadi dengan kehendak Allah SWT. Demikianlah yang diinginkan-Nya kepadanya dan pada suaminya.” Kemudian saat ia berusia senja, ia mendapatkan khabar gembira di mana ia akan melahirkan seorang anak, bukan anak biasa tetapi seorang anak yang cerdas. Bukan ini saja, para malaikat juga menyampaikan kepadanya bahawa anaknya akan mempunyai anak (cucunya) dan ia pun akan menyaksikannya. Wanita itu telah bersabar cukup lama kemudian ia memasuki usia senja dan lupa. Lalu datanglah balasan Allah SWT dengan tiba-tiba yang menghapus semua ini. Air matanya berlinang saat ia berdiri kerana saking gembiranya. Sementara itu Nabi Ibrahim as merasakan suatu perasaan yang menghairankan. Hatinya dipenuhi dengan kasih sayang dan kedekatan. Nabi Ibrahim mengetahui bahawa ia sekarang berada di hadapan suatu nikmat yang ia tidak mengetahui bagaimana harus mensyukurinya.

Nabi Ibrahim segera bersujud. Saat itu anaknya Ismail ada di sana namun ia jauh darinya sehingga tidak melihatnya. Ismail ada di sana atas perintah Allah SWT di mana Dia memerintahkannya untuk membawa anaknya bersama ibunya dan meninggalkan mereka di suatu lembah yang tidak memiliki tanaman dan air. Demikianlah perintah tersebut tanpa ada keterangan yang lain. Nabi Ibrahim melaksanakan perintah tersebut dengan tulus, dan beliau hanya berdakwah dan menyembah Allah SWT. Allah SWT memberinya khabar gembira saat beliau menginjak usia tua dengan kelahiran Ishak dari isterinya Sarah, dan setelah kelahirannya disusul dengan kelahiran Yakub. Nabi Ibrahim bangun dari sujudnya lalu pandangannya tertuju pada makanan. Ia merasa tidak mampu lagi melanjutkan makan kerana saking gembiranya. Ia memerintahkan pembantunya untuk mengangkat makanan, lalu beliau menoleh kepada para malaikat. Hilanglah rasa takut Nabi Ibrahim dan keresahannya menjadi tenang. Nabi Ibrahim mengetahui bahawa mereka diutus pada kaum Luth sedangkan Luth adalah anak saudaranya yang tinggal bersamanya di tempat kelahirannya.

Nabi Ibrahim mengetahui maksud pengutusan para malaikat pada Luth dan kaumnya. Ini bererti akan terjadi suatu hukuman yang mengerikan. Karakter Nabi Ibrahim yang penyayang dan lembut menjadikannya tidak mampu menahan kehancuran suatu kaum. Barangkali kaum Luth akan bertaubat dan masuk Islam serta menaati perintah rasul mereka. Nabi Ibrahim mulai mendebat para malaikat tentang kaum Luth. Nabi Ibrahim berbicara kepada mereka, bahawa boleh jadi mereka akan beriman dan keluar dari jalan penyimpangan. Namun para malaikat memahamkannya bahawa kaum Luth adalah orang-orang yang jahat, dan bahawa tugas mereka adalah mengirim batu-batuan yang panas dari sisi Tuhan bagi orang-orang yang melampaui batas.

Setelah para malaikat menutup pintu dialog itu, Nabi Ibrahim kembali berbicara kepada mereka tentang orang-orang mukmin dari kaum Luth. Ia bertanya kepada mereka: “Apakah kalian akan menghancurkan suatu desa yang di dalamnya terdapat tiga ratus orang mukmin?” Para malaikat menjawab: “Tidak.” Nabi Ibrahim mulai mengurangi jumlah orang-orang mukmin dan ia bertanya lagi kepada mereka: “Apakah desa itu akan dihancurkan sementara masih ada sejumlah orang-orang mukmin ini.” Para malaikat menjawab: “Kami lebih mengetahui orang-orang yang ada di dalamnya.” Kemudian mereka memahamkannya bahawa perkara tersebut telah ditetapkan dan bahawa kehendak Allah SWT telah diputuskan untuk menghancurkan kaum Luth. Para malaikat memberi pengertian kepada Nabi Ibrahim agar beliau tidak terlibat lebih jauh dalam dialog itu kerana Allah SWT telah memutuskan perintah-Nya untuk mendatangkan azab yang tidak dapat ditolak, suatu azab yang tidak dapat dihindari dengan pertanyaan Nabi Ibrahim. Namun pertanyaan Nabi Ibrahim itu berangkat dari seorang Nabi yang sangat penyayang dan penyantun. Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya utusan-utusan kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa khabar gembira, mereka mengucapkan: ‘Salamun’ (Selamatlah), maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata: ‘Janganlah kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Luth. Dan isterinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka kami sampaikan kepadanya khabar gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Yakub. isterinya berkata: ‘Sungguh menghairankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.’ Para malaikat itu berkata: ‘Apakah kamu merasa hairan tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan- Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlul bait! Sesungguhnya Allah Maha Pemurah lagi Maha Terpuji.’ Maka tatkala rasa takut itu hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, dia pun bersoal jawab dengan (malaikat-malaikat) Kami tentang kaum Luth. Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah. Hai Ibrahim, tinggalkanlah soal jawab ini sesungguhnya telah datang ketetapan Tuhanmu, dan sesungguhnya mereka itu akan didatangi azab yang tidak dapat ditolak.” (QS. Hud: 69-76)

Pernyataan malaikat itu sebagai syarat untuk mengakhiri perdebatan itu. Ibrahim pun terdiam. Marilah kita tinggalkan Nabi Ibrahim dan kita beralih pada Nabi Luth dan kaumnya.

[1] Terdapat perbezaan pendapat dalam mentafsirkan kata “ab” dalam kisah Nabi Ibrahim as dalam al-Quran. Sebahagian mengertikannya dengan erti lahiriahnya, yaitu ayah. Tapi, kelompok yang lain beranggapan bahawa yang dimaksud dengan kata tersebut adalah bapa saudara. (Pengarang)


Facebook Twitter Google+
Back To Top