Dahulu kala
di tanah Melayu hiduplah seorang nelayan bernama Awang Gading. Ia
tinggal seorang diri di dekat sungai. Sehari- hari ia menangkap
ikan di sungai dan mencari kayu di hutan.
Pada suatu
hari Awang Gading menemukan seorang bayi mungil di tepi sungai.
Ia terpesona melihat bayi yang lucu itu. Ia memutuskan untuk membawanya
pulang dan membesarkannya.
Malam
harinya Awang Gading membawa bayi itu kepada tetua desa. Tetua desa
mengamati sang bayi dan tersenyum.
“Kau
beruntung, Gading,” katanya. “Anak ini adalah keturunan penguasa sungai
dan kau dipercaya untuk merawatnya.”
Awang Gading
sangat bahagia mendengarnya. Bertambah mantap hatinya untuk
membesarkan bayi itu. Diberinya nama Dayang Kumulah. Awang Gading makin
rajin bekerja. Ia bertekad memberikan yang terbaik kepada Dayang Kumulah.
Dayang
Kumulah , sesuai harapan ayah angkatnya tumbuh menjadi gadis yang cantik dan
cerdas. Ia juga santun dan halus budi pekertinya. Ia juga rajin membantu
ayahnya yang sudah tua. Hanya sayangnya gadis cantik itu tidak pernah
sekali pun tertawa.
Pada suatu
hari seorang pemuda bernama Awangku Usep melihat Dayang Kumulah dan ingin
meminangnya. Ia lalu meminta ijin kepada Awang Gading untuk
menikahinya.
“Nak,
“ kata Awang Gading. “Aku sangat menyayangi anakku, “Bila
Dayang Kumulah menikah denganmu, ialah yang akan menjalani hidup
bersamamu. Maka sebaiknya kau bertanyalah kepadanya.”
Awangku Usep
meminta kesediaan Dayang Kumulah menjadi isterinya. Dayang Kumulah semula
menolak.
“Kanda
Usep,” katanya. “Kita berasal dari alam yang berbeda. Aku berasal
dari sungai. Aku tak ingin kau menyesal suatu hari nanti.”
Namun alasan
itu ridak menyurutkan niat Awangku Usep menikahi Dayang Kumulah. Akhirnya
gadis itu setuju dengan satu syarat, Awangku Usep tidak boleh menyuruhnya
tertawa. Walaupun terdengar aneh Usep menyanggupinya tanpa bertanya lagi.
Mereka pun
menikah. Sayang sekali, tak lama kemudian Awang Gading meninggal.
Dayang Kumulah sangat sedih. Namun ia segera terhibur dengan kelahiran
anaknya. Satu per satu mereka dikaruniai anak-anak hingga lima
orang.
Dayang
Kumulah dan Awangku Usep sangat berbahagia bersama anak-anak mereka. Namun Usep
masih merasakan ada sesuatu yang kurang karena tidak pernah melihat istrinya
yang cantik itu tertawa . Ia selalu berusaha agar istrinya tertawa. Ia
melucu, bercanda bersama anak-anaknya. Semua tertawa geli, kecuali Dayang
Kumulah.
Pada suatu
hari seperti biasa ia sengaja memancing tawa keluarganya. Anak-anaknya
menimpali dengan ucapan yang membuat mereka sakit perut karena
tertawa. Dayang Kumulah mendengarkan namun tetap diam saja. Akhirnya Usep
tak sabar lagi.
“Bu, “ kata
Usep kepada isterinya. “Coba lihat, si bungsu lucu sekali. Kenapa kau tidak tertawa?”
Dayang
Kumulah hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng. Awangku Usep dan
anak-anak mereka terus mendesak Dayang tertawa. Akhirnya Dayang Kumulah
menyerah. Ia tertawa.
Namun, apa
yang terjadi? Ketika Dayang Kumulah tertawa, dari mulutnya tampak insang
ikan. Dayang langsung lari ke arah sungai. Suami dan anak-anak
mereka mengikuti. Alangkah terkejut dan menyesalnya mereka melihat tubuh
Dayang berubah majadi ikan yang indah. Tubuhnya tak bersisik dan wajahnya
seperti manusia.
Ikan itu
kemudian disebut ikan patin. Sejak saat itu sebagian besar masyarakat
Melayu tidak makan daging ikan patin.