Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, munculah perjalanan
sejarah para Khalifah. Fungsi mereka menggantikan jabatan Nabi Muhammad
SAW sebagai kepala negara, hakim dan panglima perang. Jabatan khalifah
ini terus berlangsung hingga tahun 1923 M dan baru setelah Mustafa
kemal Pasha menjadi kepala negara sistem kekhalifahan dihapuskan.
Muhammad V merupakan Khalifah terakhir.
Khalifah adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat islam setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632). Kata “Khalifah” dapat
diterjemahkan sebagai “pengganti” atau “perwakilan”. Pada awal
keberadaannya, para pemimpin islam ini menyebut diri mereka sebagai
“Khalifat Allah”, yang berarti perwakilan Allah (Tuhan). Akan tetapi
pada perkembangannya sebutan ini diganti menjadi “Khalifat rasul Allah”
yang berarti “pengganti Nabi Allah”. Kemudian menjadi sebutan standar
untuk menggantikan “Khalifat Allah”. Meskipun begitu, beberapa akademis
memilih untuk menyebut “Khalīfah” sebagai pemimpin umat islam tersebut.
Sejarah
Abu Bakar menunjuk Umar sebagai penggantinya sebelum kematiannya, dan
untungnya, komunitas muslim menerima hal ini. Pengganti Umar, Utsman
bin Affan, dipilih oleh dewan perwakilan kaum muslim. tetapi kemudian,
Utsman dianggap memimpin seperti seorang “raja” dibandingkan sebagai
seorang pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Utsman pun akhirnya terbunuh
oleh seseorang dari kelompok yang tidak puas. Ali kemudian diangkat
oleh sebagian besar muslim waktu itu di Madinah untuk menjadi khalifah,
tetapi ia tidak diterima oleh beberapa kelompok muslim. Dia menghadapi
beberapa pemberontakan dan akhirnya terbunuh setelah memimpin selama
lima tahun. Periode ini disebut sebagai “Fitna”, atau perang sipil islam
pertama.
Bani Umayyah
Salah satu kelompok penentang ˤAlī adalah kelompok yang dipimpin oleh
Gubernur Syam waktu itu Muawiyah bin Abu Sufyan, yang juga sepupu
Utsman. Setelah kematian Ali, Muawiyah mengambil alih kekuasaan
kekhalifahan. Dia kemudian dikenal dengan nama Muˤāwiyya, pendiri Bani
Umayyah. Dibawah kekuasaan Muˤāwiyya, kekhalifahan dijadikan jabatan
turun-menurun.
Di daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Persia dan
Byzantium, bani Umayyah menurunkan pajak, memberikan otonomi daerah dan
kebebasan beragama yang lebih besar bagi umat Yahudi dan Kristen, dan
berhasil menciptakan kedamaian di daerah tersebut setelah dilanda perang
selama bertahun-tahun.
Dibawah kekuasaan Bani Umayyah, kekhalifahan Islam berkembang dengan
pesat. Di arah barat, umat Muslim menguasai daerah di Afrika Utara
sampai ke Spanyol. Di arah timur, kekhalifahan menguasai daerah Iran,
bahkan sampai ke India. Hal ini membuat Kekhalifahan Islam menjadi salah
satu di antara sedikit kekaisaran besar dalam sejarah.
Meskipun begitu, Bani Umayyah tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh
umat Islam. Beberapa Muslim lebih mendukung tokoh muslim lainnya seperti
Ibnu Zubair; sisanya merasa bahwa hanya mereka yang berasal dari klan
Nabi Muhammad, Bani Hasyim, atau dari keturunan Ali (yang masih
sekeluarga dengan Nabi Muhammad), yang boleh memimpin. Akibatnya, timbul
beberapa pemberontakan selama masa kepemimpinan bani umayyah. Pada
akhir kekuasaannya, pendukung Bani Hasyim dan pendukung Ali bersatu
untuk meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada tahun 750. Bagaimanapun, para
pendukung Ali lagi-lagi harus menelan kekecewaan ketika ternyata
pemimpin kekhalifahan selanjutnya adalah Bani Abbasiyah, yang merupakan
keturunan dari Abbas bin Abdul-Muththalib, paman Nabi Muhammad, bukan
keturunan Ali. Menanggapi kekecewaan ini, komunitas muslim akhirnya
terpecah menjadi komunitas Syiah dan Sunni.
Bani Abbasyiah
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga
abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan
ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada
tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab,
khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh orang Mameluk di Mesir
pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai
memisahkan diri dari kekhalifahan. Meskipun begitu, kekhalifahan tetap
bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia Islam.
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti
mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang
muslim Syi’ah dari Bani Fatimiyah yang mengaku bahwa anak perempuannya
adalah keturunan Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada
tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada
awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun
kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan
Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali
daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir
sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian
runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Ummayah bisa bertahan dan terus
memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengkalim kembali
gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada
tahun 1031.
Kekhalifahan “bayangan”
Pada tahun 1258, pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan berhasil
menguasai Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasyiah, dan mengeksekusi
Khalifah al-Mutasim. Tiga tahun kemudian, sisa-sisa Bani Abbasyiah
membangun lagi sebuah kekhalifahan di Kairo, di bawah perlindungan
Kesultanan Mameluk. Meskipun begitu, otoritas garis keturunan para
khalifah ini dibatasi pada urusan-urusan upacara dan keagamaan, dan
para sejarawan Muslim pada masa-masa sesudahnya menyebut mereka sebagai
“khalifah bayangan”.
Kekaisaran Usmaniyah
Bersamaan dengan bertambah kuatnya Kesultanan Usmaniyah, para
pemimpinnya mulai mengklaim diri mereka sebagai Khalifah. Klaim mereka
ini kemudian bertambah kuat ketika mereka berhasil mengalahkan
Kesultanan Mamluk pada tahun 1517 dan menguasai sebagian besar tanah
Arab. Khalifah Abbasyiah terakhir di Kairo, Al-Mutawakkil III, dipenjara
dan dikirim ke Istambul. Kemudian, dia dipaksa menyerahkan
kekuasaannya ke Selim I.
Walaupun begitu, banyak Kekaisaran Usmaniyah yang memilih untuk
menyebut diri mereka sebagai Sultan, daripada sebagai Khalifah. Hanya
Mehmed II dan cucunya, Selim, yang menggunakan gelar khalifah sebagai
pengakuan bahwa mereka adalah pemimpin negara Islam.
Menurut Barthold, saat dimana gelar Khalifah digunakan untuk
kepentingan politik daripada sekedar simbol agama untuk pertama kalinya
adalah ketika Kekaisaran Usmaniyah membuat perjanjian damai dengan
Rusia pada tahun 1774. Sebelum perjanjian ini dibuat, Kekaisaran
Usmaniyah berperang dengan Kekaisaran Kristen Rusia, mengakibatkan
kekaisaran kehilangan sebagian besar wilayahnya, termasuk juga memiliki
populasi tinggi seperti misalnya daerah Crimea. Dalam surat perjanjian
damai dengan Rusia, kekaisaran Usmaniyah, dibawah kepemimpinan
Abdulhamid I, menyatakan bahwa mereka akan tetap melindungi umat Islam
yang berada di wilayah yang kini menjadi wilayah Rusia. Ini adalah
pertama kalinya Kekhalifahan Usmaniyah diakui secara politik oleh
kekuatan Eropa.
Sebagai hasilnya, meskipun wilayah kekuasaan Usmaniyah menjadi sempit
namun kekuatan diplomatik dan militer Usmaniyah semakin meningkat.
Sekitar tahun 1880 Sultan Abdulhamid II menegaskan kembali status
kekhalifahannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Eropa
yang semakin menjadi-jadi. Klaimnya ini didukung sepenuhnya oleh Muslim
di India, yang ketika itu dalam cengkraman penjajahan Inggris. Pada
Perang Dunia I, Kekhalifahan Usmaniyah, dengan mengesampingkan betapa
lemahnya mereka dihadapan kekuatan Eropa, menjadi negara Islam yang
paling besar dan paling kuat di dunia.
Keruntuhan kekhalifahan
Tepatnya pada tanggal 23 Maret 1924, keruntuhan kekhalifahanan
terakhir, Kekhalifahan Turki Usmaniyah, terjadi akibat adanya
perseteruan di antara kaum nasionalis dan agamais dalam masalah
kemunduran ekonomi Turki.
Setelah menguasai Istambul pasca-Perang Dunia I, Inggris menciptakan
sebuah kevakuman politik dengan menawan banyak pejabat negara dan
menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan khalifah dan
pemerintahannya tersendat. Kekacauan terjadi di dalam negeri, sementara
opini umum mulai menyudutkan pemerintahan khalifah yang semakin lemah
dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal
Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional – dan ia menobatkan diri
sebagai ketuanya – sehingga ada dua pemerintahan saat itu;
pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan
Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha
belum berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya
mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun,
setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini
ditolak. Pengusulnya pun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan
Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah.
Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan
agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang
diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan
kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang
dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November
1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun
ambisinya untuk membubarkan khilafah saat itu, yang telah lemah dan
digerogoti korupsi, terintangi; Ia dianggap murtad, dan beberapa
kelompok pendukung Sultan Abdul Mejid II terus berusaha mendukung
pemerintahannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal
Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan
pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah
pengkhianat bangsa dan ia kemudian melakukan beberapa langkah
kontroversial untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Misalnya,
Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang
Dewan Perwakilan Nasional (yang kemudian disebut dengan “Kepresidenan
Urusan Agama” atau sering disebut dengan “Diyaniah”). Pada tanggal 3
Maret 1924, ia memecat khalifah sekaligus membubarkan sistem
kekhalifahan dan menghapuskan hukum Islam dari negara. Hal inilah yang
kemudian dianggap sebagai keruntuhan kekhalifahan Islam.
Saat ini, Diyaniah berfungsi sebagai entitas dari lembaga Shaikh
al-Islam/Kekhalifahan. Mereka bertugas untuk: “memberikan pelayanan
religius kepada orang Turki dan Muslim di dalam dan di luar negara
Turki”. Diyainah memiliki kantor pusat di Ankara, Turki.
Diyaniah adalah sebuah lembaga yang mewarisi semua sumber-sumber yang
berhubungan dengan hal-hal religius dari Kekaisaran Ottoman, termasuk
semua arsip kekhalifahan yang telah runtuh tersebut. Saat ini, Diyainah
merupakan otoritas tertinggi Muslim Sunni. Diyainah juga memiliki
kantor cabang di Eropa (Jerman).
Perbedaan utama antara kekhalifahan dengan Diyainah adalah Dinaiyah,
tidak seperti kekhalifahan yang mengurusi masalah negara, hanya
berfungsi sebagai lembaga keagamaan. Hal ini sesuai dengan prinsip
sekularisme Turki yang memisahkan urusan Agama dengan urusan negara.
Sempat muncul keinginan dan gerakan untuk mengendirikan kembali
kekhalifahan setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman, tetapi tak ada
satupun yang berhasil. Hussein bin Ali, seorang gubernur Hejaz pada masa
Kekaisaran Ottoman yang pernah membantu Britania raya pada masa Perang
Dunia I serta melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Istambul,
mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dua hari setelah keruntuhan
Ottoman. Tetapi klaimnya tersebut ditolak, dan tak lama kemudian ia di
usir dari tanah Arab. Sultan Ottoman terakhir Mehmed VI juga melakukan
hal yang sama untuk mengangkat kembali dirinya sebagai Khalifah di
Hejaz, tetapi lagi-lagi usaha tersebut gagal. Sebuah pertemuan diadakan
di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian kembali
kekhalifahan. Tetapi, hanya sedikit negara Muslim yang berpartisipasi
dan mengimplentasikan hasil dari pertemuan tersebut.
Gerakan Khilafat
Pada tahun 1920-an “gerakan Khilafat”, sebuah gerakan yang bertujuan
untuk mendirikan kembali kekhalifahan, menyebar diseluruh daerah jajahan
Inggris di Asia. Gerakan ini sangat kuat di India, yang saat itu
menjadi pusat komunitas Islam. Sebuah pertemuan kemudian diadakan di
Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian Kekhalifahan. Tapi
sayang, sebagian besar negara mayoritas Muslim tidak berpartisipasi dan
mengambil langkah untuk mengimplentasikan hasil dari pertemuan ini.
Meskipun gelar Amir al-Mukmin dipakai oleh Raja Maroko dan
Mullah Mohammed Omar, pemimpin rezim Taliban di Afganistan, kebanyakan
Muslim di luar daerah kekuasaan mereka menolak untuk mengakuinya.
Organisasi yang mendekati bentuk sebuah bentuk kekhalifahan saat ini
adalah Organisasi Konferensi Islam atau OKI, sebuah organisasi
internasional dengan pengaruh yang terbatas yang didirikan pada tahun
1969 beranggotakan negara-negara mayoritas Muslim.
sumber : wikipedia dan berbagai sumber lainnya