Judul Buku : Raksasa Dari Jogja
Penulis : Dwitasari
Penerbit : Plotpoint Publishing (PT Bentang Pustaka)
Tahun Terbit : 2012
Tebal : 270
Penulis : Dwitasari
Penerbit : Plotpoint Publishing (PT Bentang Pustaka)
Tahun Terbit : 2012
Tebal : 270
Pertama-tama aku mau ngucapin makasih sama Rahib BBI (udah pada tau
dong siapa? hehe) yang udah ngasih buku ini ke aku (oh iya, makasih juga
random.org!). tanpa mengurangi rasa hormat ke siapaun, aku bakal mereview buku ini sejujur-jujurnya (baca: sesadis-sadisnya).
Sebelum ngereview buku ini, aku search di Goodreads dulu mengenai
rate buku ini. Aku pengen tahu aja gimana penilaian orang yang udah pada
baca. Apakah sama dengan pandangan aku atau nggak. Dan ternyata, sama
loh! Banyak yang hanya me-rate 2 bintang, bahkan yang rate 1 bintang pun
ada. Dan banyak! Ada 1-2 orang yang me-rate bintang 4. Entah apa
alasannya me-rate 4. Well, itu selera sih. Tapi, ketika membaca
penilaian orang lain di Goodreads itu, aku jadi sedikit lega ternyata
nggak Cuma aku yang sesadis itu me-rate 2 bintang. Muhehe. *kibarkan
bendera YNWA*
Dari review orang-orang di Goodreads pun aku jadi tahu kalo ternyata
si penulis adalah selebtweet. “Jiyah. Pantesan!” Begitu gumamku saat
mengetahui kalau Dwitasari ini seorang selebtweet. Bukan underestimate
atau apa yah. Belakangan ini kan banyak fenomena buku terbit hanya
karena lantaran si penulis itu selebtweet. Yang kebanyakan kita tahu
seperti apa UMUMNYA kualitas buku karya selebtweet itu. Aku pernah
membaca beberapa buku punya selebtweet.
Penilaian aku rata-rata sama. Well, jam terbang memang nggak bisa
dibohongi sih. Sangat disayangkan, padahal Dwita ini mahasiswi jurusan
sastra Indonesia UI loh (eh, jaminan gak sih? Gak ya kayaknya). Hehe.
Udah ya. Itu anggap aja pembukaan atau behind the scene. Sekarang
mari kita masuk ke review yang sesungguhnya. *tsaaahhh bahasa gue*
Disclaimer : aku nggak akan cerita panjang lebar soal synopsis buku
ini. Karena jalan ceritanya terlalu biasa dengan konflik yang biasa
pula.
Ceritanya tentang seorang cewek bernama Bianca lulusan SMA yang
memutuskan untuk kuliah di Jogja. Bianca ini nggak percaya dengan yang
namanya cinta. Ia benci jatuh cinta. Karena menurut dia, yang namanya
“jatuh” itu ya sakit. Bapaknya melakukan KDRT terhadap dirinya dan
mamanya, sahabatnya mengambil cowok yang disukainya, hal-hal itu
membuatnya tidak percaya cinta. Sampai suatu hari di Jogja ia bertemu
dengan seorang cowok yang mengasihinya dengan lembut. Bianca mulai
membuka hatinya untuk cinta. Namun ternyata cowok itu punya masa lalu
yang misterius yang lagi-lagi membuat Bianca terluka dan semakin tidak
percaya cinta.
Kesan pertama baca buku ini… mmm keren! Kavernya keren, desain
interior bukunya keren, nama tokoh-tokohnya keren. Dan ada sedikit
ilustrasi di kop judul setiap bab yang menambah keren. Pokoknya menurut
saya ini kaver anak muda banget deh. 1 bintang deh untuk kaver dan
fisiknya. Oh iya, plus ada bonus bookmark berbentuk hati yang cukup
bagus juga menurutku.
Hal paling menonjol yang aku rasakan saat baca buku ini yaitu logic
check di buku ini tuh kayaknya nggak ada deh. Aku jadi bingung sendiri.
Buku ini t uh punya editor nggak sih? Di halaman depan sih tertulis
siapa “Pemeriksa Aksara”, tapi melihat banyaknya typo yang bukan sekedar
typo, bikin aku merasa buku ini pasti nggak melalui proses pengeditan
yang baik. Banyak banget hal-hal yang di luar logika menurutku.
Pertama, Bianca ini kan tadinya tinggal sama ortunya. Mamanya setiap
hari harus jadi korban kemarahan papanya. Bianca yang menyaksikan itu
setiap hari pasti tau gimana menderitanya sang mama karena gak jarang
dirinya juga suka jadi sasaran kemarahan papanya. Di halaman awal Bianca
terlihat nggak mau pisah dari mamanya. Akan selalu melindungi mama dan
lain sebagainya. Eh tapi kok bisa-bisanya dia pas tau pengumuman
keterima di kuliah di Jogja teriak seneng banget. Begitu tinggal di
Jogja juga dia jarang menelepon mamanya. Maksud aku, aduuuh, kok tega
sih ninggalin mamanya sendirian di rumah? Entah ya, kalau aku jadi
Bianca, aku pasti gak akan ninggalin mamaku sendirian dengan papa yang
temperamen kayak gitu. Plus, Bianca punya adek yang tinggal sama
neneknya. Ya masak gak pernah nanya kabar adeknya barang sekali-dua
kali. Egois banget.
Kedua, masih soal mamanya. Waktu ditinggal Bianca ke Jogja, mamanya
itu bilang masih mau mempertahankan keluarganya. Mama gak mau cerai dari
papa. Mama gak akan minta cerai dari papa. Dari sini tuh aku merasa
mamanya ini udah cinta banget sama papanya. Um, oke. Wajar. Tapi pas
jalan cerita berangsur-angsur maju, mamanya ini plin plan abis. Dia
menelepon Bianca meraung-raung katanya udah gak tahan dengan semua ini.
Laaahhh… (aku sampe komen : rasalin lo ma!) um, oke deh. Masih maklum.
Mungkin mamanya baru sadar kalau papanya itu jahat. Tapi gak berapa lama
setelah itu, mamanya labil lagi. Bilang masih sayang sama papa lah atau
apalah. Adoooh… Arrrgh! (garuk-garuk dasar laut jawa)
Ketiga, sosok Kevin, sepupu Bianca yang udah deket banget dari kecil.
Aduuuh speechless deh sama cara penulis menggambarkan tokoh yang satu
ini. Di mata aku, sosok Kevin itu banci dan childish abis. Si Biancanya
juga lebay maksimal. Menurut aku, penulis gagal membangun karakter yang
ia mau. Seharusnya mungkin Bianca diciptakan sebagai cewek yang dingin
dan cuek karena latar belakangnya yang membenci cinta. Tapi di sini,
sosok Bianca yang aku dapet malah kekanak-kanakan dan manja. Aku juga
melihat Kevin itu sebagai cowok yang sakit jiwa. Cemburuan nggak jelas,
padahal bukan pacar Bianca. Sorry to say.
Keempat, hubungan antara Bianca dan Letisha (sahabat baiknya). Aduh
ini udah seaneh-anehnya dari yang paling aneh di buku ini. Jadi ada satu
setting cerita, di kamar Bianca. Pokoknya mereka lagi membicarakan
cowok. Nah, tiba-tiba di Bianca nanya pendapat Letisha soal Joshua.
Lethisa ini jawabnya lancer banget. Bianca mikir si Letisha ini suka
sama Joshua. Dan bener aja, gak berapa lama, Letisha dan Joshua akhirnya
jadian. Terus si Bianca marah. Berpikiran kalau Lethisha nusuk dia dari
belakang. Lah? Sumpah bingung aku. Bianca sendiri nggak pernah bilang
kalau dia suka Joshua kok. Antara Bianca dan Joshua juga ga pernah ada
apa-apa. Malah si Letisha ini sampai dibilang Jalang dan brengsek
segala. Jangan salahin Letisha dong. Wong Bianca aja gak pernah ngomong
dia suka sama Joshua kok. Aduuuh, lama-lama aku sakit jiwa baca buku
ini. Aneh abis. Coba seandainya penulis lebih mengeksplor gimana
perasaan Bianca ke Joshua dan gimana hubungan mereka bertiga sebenernya.
Hubungan antara Bianca dan Vanessa, teman sekamarnya waktu ada camp
di awal perkuliahan. Kok bisa sih Vanessa ini manggil Bianca dengan
sebutan “Mbak”. Padahal kan jelas mereka satu angkatan. Lha wong diospek
bareng-bareng gitu loh. Dan Bianca ini judes banget. Sempet negative
thinking sama Vanessa. Ga penting banget pokoknya penggambaran sikapnya
itu. Pointless. Terus ya bisa-bisanya tau-tau si Bianca manggil Vanessa
dengan “Nessa”. Kalau aku ya, aku pasti bakal nanya dulu biasa
dipanggil apa. Gak asal sebut nama panggilan aja. Proses-proses kecil
kayak gItu yang kurang dijabarkan sama penulis. Yang bikin cerita jadi
kurang logis. *abaikan*
Kelima, karena penulis mahasiswi sastra, maka gak heran kalau bahasa
yang digunakan di buku ini termasuk nyastra dan indah. Cuma kok yah,
jadi terkesan maksa pengen setiap kata jadi indah, alhasil malah jadi
annoying buat pembacanya dan terkesan lebay. Coba seandainya sesekali
aja penulis menulis sesuatu sastra yang indah itu. Pasti lebih ngena dan
berkesan dibanding harus “maksa” nulis di setiap kalimat. Ini bukan
buku kumpulan puisi kan?
Keenam, cerita ini terkesan kayak penyanyi yang nyanyi terburu-buru
gak sesuai tempo dengan maksud supaya lagunya cepat selesai. Yah,
jadinya gitu. Gak dapet emosinya. Datar aja sepanjang baca. Kurang
detail gimana awalnya si cowok yang di Jogjabisa naksir sama Bianca,
terus kenapa Bianca bisa suka sama Joshua (gebetan jaman SMAnya dulu).
Padahal mungkin kalau mau didetail soal itu, bisa jadi sedikit lebih
menarik (mungkin) ceritanya.
Ketujuh, (wew banyak amat udah tujuh aja) *elap keringet di dahi*.
Aku terganggu dengan kesalahan penggunaan tanda baca. Entah salah, entah
gak dan atau kurang tepat ya. Seharusnya ada tanda Tanya, malah jadi
tanda titik aja. Yang seharusnya tanda titik, malah jadi tanda seru.
Hal-hal kayak gini bukan sepele loh. Karena itu sedikit banyak
mempengaruhi imajinasi pembaca dalam menginterpretasikan emosi
tokoh-tokohnya. Kemudian pada saat dialog. Sering hanya ditulis begini
doang :
“Aku udah lakuin itu, Nessa.”
“Kamu harus tetap berjalan.”
“Enggak peduli hasilnya gimana?”
“Enggak peduli hasilnya gimana!”
“Capek kalau hasilnya nggak berkembang, Nes”
“Lebih capek lagi kalau jalan di tempat.”
“Kamu harus tetap berjalan.”
“Enggak peduli hasilnya gimana?”
“Enggak peduli hasilnya gimana!”
“Capek kalau hasilnya nggak berkembang, Nes”
“Lebih capek lagi kalau jalan di tempat.”
Aduh, bahasa chatting banget gak sih? Daripada ngerepotin pakai tanda “petik” segala, mending ditulis gini aja.
Bianca : Aku udah lakuin itu, Nessa
Nessa : Kamu harus tetap berjalan
Bianca : Enggak peduli hasilnya gimana?
Nessa : Enggak peduli hasilnya gimana!
Nessa : Kamu harus tetap berjalan
Bianca : Enggak peduli hasilnya gimana?
Nessa : Enggak peduli hasilnya gimana!
See? Toh sama-sama aja. Kelihatannya sepi malah kalau ditulis pakai
tanda kutip begitu. Kayak kehabisan kata-kata mau dikasih embel-embel
apa setelah tanda kutip. Biasanya kan “Ia berkata” atau “katanya”. Dan
itu hampir di setiap dialog. Entah malas, entah miskin. Hhh!
Juga ketidakkonsistenan adanya footnote. Setting di jogja membuat dialog dalam buku ini sedikit mengandung bahasa daerah. Di awal-awal, disertakan footnote yang penulisannya agak gak biasa.
Juga ketidakkonsistenan adanya footnote. Setting di jogja membuat dialog dalam buku ini sedikit mengandung bahasa daerah. Di awal-awal, disertakan footnote yang penulisannya agak gak biasa.
1. Bahasa jawa: sendhiko dalam bahasa Indonesia berarti bersedia
1. Bahasa Jawa : lali nek dalam bahasa Indonesia berarti lupa kalau
2. Bahasa jawa : piye dalam bahasa Indonesia berarti bagaimana
1. Bahasa Jawa : lali nek dalam bahasa Indonesia berarti lupa kalau
2. Bahasa jawa : piye dalam bahasa Indonesia berarti bagaimana
Nyeh. Capek gak sih bacanya? Lebih praktis kalau tinggal nulis aja langsung
1. Bersedia
1. Lupa kalau
2. Bagaimana
1. Lupa kalau
2. Bagaimana
Entah apa itu justru penulisan footnote yang bener apa gimana, yang
jelas baru kali ini aku baca footnote yang se-“menggurui” itu. Plus ga
konsisten. Ke halaman belakang dan makin ke belakang, ada dialog yang
pakai bahasa jawa juga tapi aku ga menemukan footnote halaman itu.
Sangat disayangkan ada kata-kata “Asu” dalam dialog tapi gak ditulis di
footnote apa artinya. Hehehe. Itu juga typo tuh nulis footnotenya. Udah
footnote 1, kok nomor 1 lagi. Editornya manaaaaaaa???!!!
Dah ah, cuapek. Btw. Ini review terpanjang dalam sejarah yang pernah
aku buat. Hahaha. Emang yah orang tuh kalo caci maki emang paling jago
deh. Muhahaha!
Novel ini kalau dibaca pada waktu aku umur 15-16 mungkin akan aku
bilang bagus yah. Tapi di umur yang sudah tidak lagi muda ini, agak
nyesel juga baca buku ini. Malah jadi nyinyir. Hahahay!
At the end, tetep sih aku kasih 2 dari 5 bintang untuk kavernya yang
oke dan penggunaan kata-kata yang puitis. Tapi inget, puitis kalo
terlalu banyak, jatohnya malah jadi norak. Emang kan, yang serba
“terlalu” itu nggak baik.
NB : kenapa judulnya “Raksasa Dari Jogja”? Karena saat di
Jogja, Bianca (tokoh utamanya) suka sama cowok tinggi 196cm sedangkan
dia hanya sekitar 165 cm